Minggu, 30 Oktober 2011

Sholat Jama’ (Jamak) dan Qashar

Yang dimaksud dengan sholat jama’ adalah menggabungkan 2 sholat dalam 1 waktu. Sebagai contoh menggabungkan sholat Dhuhur dan Ashar, serta sholat Maghrib dan Isya.

Dalil yang digunakan adalah:
1) Dari Muadz bin Jabal bahwa Rasululloh SAW apabila beliau melakukan perjalanan sebelum matahari condong (masuk waktu sholat zuhur), maka beliau mengakhirkan sholat zuhur kemudian menjamaknya dengan sholat ashar pada waktu ashar, dan apabila beliau melakukan perjalanan sesudah matahari condong, beliau menjamak sholat zuhur dan ashar (pada waktu zuhur) baru kemudian beliau berangkat. Dan apabila beliau melakukan perjalanan sebelum magrib maka beliau mengakhirkan sholat magrib dan menjamaknya dengan sholat isya, dan jika beliau berangkat sesudah masuk waktu magrib,maka beliau menyegerakan sholat isya dan menjamaknya dengan sholat magrib. (Hadits Riwayat Ahmad, Abu Daud dan Tirmidzi).

2)Rasululloh SAW menjamak sholat magrib dan isya pada malam yang hujan. Dalil lainnya yaitu salah satu perbuatan sahabat, dari Nafi’: bahwa Abdulloh Ibnu Umar sholat bersama para umara (pemimpin) apabila para umara tersebut menjamak sholat magrib dan isya pada waktu hujan. (HR Bukhori)

3) Rasululloh SAW menjamak antara sholat zuhur dan ashar dan antara sholat magrib dan Isya bukan karena rasa takut dan hujan. (HR Muslim)

4) Adalah Rasululloh SAW dalam peperangan Tabuk, apabila hendak berangkat sebelum tergelincir matahari, maka beliau mengakhirkan Dzuhur hingga beliau mengumpulkannya dengan Ashar, lalu beliau melakukan dua shalat itu sekalian. Dan apabila beliau hendak berangkat setelah tergelincir matahari, maka beliau menyegerakan Ashar bersama Dzuhur dan melakukan shalat Dzuhur dan Ashar sekalian. Kemudian beliau berjalan. Dan apabila beliau hendak berangkat sebelum Maghrib maka beliau mengakhirkan Maghrib sehingga mengerjakan bersama Isya’, dan apabila beliau berangkat setelah Maghrib maka beliau menyegerakan Isya’ dan melakukan shalat Isya’ bersama Maghrib“. (HR Tirmidzi)

5) Dari Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata, ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjama antara Zhuhur dan Ashar jika berada dalam perjalanan, juga menjama antara Maghrib dan Isya. (HR Bukhari)

Ada beberapa syarat melakukan sholat jama’, yaitu:
1. Bepergian jauh dan tujuannya bukan untuk bermaksiat.
2. Apabila melakukan sholat berjama’ah, maka imamnya harus musafir juga.
3. Karena sedang mengerjakan pekerjaan-pekerjaan berat yang betul-betul sulit ditinggalkan. Misalnya seorang dokter yang mesti melakukan operasi.

Ada 2 jenis sholat jama’, yakni:
1. Jama’ Taqdim (ada juga yg menuliskan ta’dim, takdim, dst)
Jama’ taqdim adalah ‘menarik’ lebih awal waktu sholat. Jadi, apabila kita hendak bepergian yg kira2 cukup jauh di waktu Dhuhur, usai sholat Dhuhur kita lanjutkan dengan sholat Ashar. Hal yang sama berlaku untuk sholat Isya’, yang dilakukan di saat Magrib.

Yang tidak diperbolehkan dijama’ taqdim adalah Dhuhur di waktu Subuh, ataupun Magrib di waktu Ashar. Selain itu tidak boleh menjama’ Ashar dg sholat Jum’at (di hari Jum’at).

Untuk melaksanakan sholat jama’ taqdim, maka ada hal-hal yg mesti diperhatikan:
a. Kerjakan dulu sholat Dhuhur baru Ashar (atau Magrib dulu baru Isya).
b. Niat jama’ dilakukan saat hendak sholat Dhuhur atau Magrib. Dengan demikian, tidak sah jika niat jama’ dilakukan saat sholat Ashar atau Isya.
c. Dilakukan ‘menyambung’, dalam artian, tidak melakukan sholat sunnah setelah sholat Dhuhur atau Magrib.

2. Jama’ Takhir (ada juga yg menulis ta’hir, taqhir, dst)
Jama’ takhir kebalikan dari poin 1. Dengan demikian, kita ‘mengulur’ sholat di waktu berikutnya. Berdasarkan poin 1, maka kita bisa simpulkan bahwa jama’ takhir itu berarti sholat Dhuhur & Ashar di waktu Ashar, dan sholat Maghrib & Isya di waktu Isya.

Hal yg tidak diperbolehkan adalah Isya di saat Subuh dan Ashar di saat Maghrib.

Untuk melaksanakan sholat jama’ takhir, maka ada hal-hal yg mesti diperhatikan:
a. Niat jama’ tetap dilakukan di saat sholat Dhuhur atau Magrib.
b. Kita masih berada dalam perjalanan pada saat Ashar atau Isya.

Khusus untuk sholat jama’ takhir, kita mesti mendahulukan waktu sholat yg terakhir. Sebagai contoh, jika kita jama’ takhir Dhuhur dan Ashar, maka kita sholat Ashar dahulu barulah sholat Dhuhur.

Tata cara sholat jama’ sama dengan sholat biasa.

Sementara itu, yang dimaksud dengan sholat qashar adalah menyingkat sholat. Sholat yang bisa disingkat hanya sholat dengan jumlah raka’at 4, yakni Dhuhur, Ashar, dan Isya. Sementara Magrib, terlebih lagi Subuh, tidak bisa disingkat.

Dalil-dalilnya:
1) “Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalatmu jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu”. (An Nisa 101).

2) “Saya telah bertanya kepada Anas tentang mengqashar shalat. Jawabnya: Rasululloh SAW apabila ia berjalan jauh 3 mil atau 33 farskah (25,92 km), maka beliau shalat dua rakaat” (Ahmad, Muslim, dan Abu Dawud dari Yahya bin Mazid r.a)

3) “Telah berkata Ibnu Abbas: Rasululloh SAW pernah sembahyang jama’ antara Dhuhur dan Ashar, dan antara Maghrib dan Isya, bukan diwaktu ketakutan dan bukan di dalam pelayaran (safa). Lantas ada orang bertanya kepada Ibnu Abbas: mengapa Nabi SAW berbuat begitu? Ia menjawab: Nabi SAW berbuat bgitu karena tidak mau memberatkan seorangpun daripada umatnya”. (HR Imam Muslim)

4) Dari Muhammad bin Ja’far : ” Telah bercerita kepadaku Syu’bah, dari Yahya bin Yazid Al-Hanna’i yang menuturkan : “Aku bertanya kepada Anas bin Malik tentang mengqashar shalat. Sedangkan aku pergi ke Kufah maka aku shalat dua raka’at hingga aku kembali. Kemudian Anas berkata : “Artinya : Adalah Rasululloh SAW manakala keluar sejauh tiga mil atau tiga farskah (Syu’bah ragu), dia mengqashar shalat. (Dalam suatu riwayat) : Dia shalat dua rakaat”. (HR Imam Ahmad (3/129) dan Al-Baihaqi (2/146).

5) Dari Ya’la bin Umayyah bahwasanya dia bertanya kepada Umar ibnul Kaththab –radhiallahu anhu tentang ayat ini seraya berkata: “Jika kamu takut di serang orang-orang kafir”, padahal manusia telah aman ?!”. Sahabat Umar –radhiallahu anhu menjawab: “Aku sempat heran seperti keherananmu itu lalu akupun bertanya kepada Rasululloh SAW tentang hal itu dan beliau menjawab: “(Qashar itu) adalah sedekah dari ALLOH SWT kepadamu, maka terimahlah sedekah ALLOH SWT tersebut.” (HR. Muslim, Abu Dawud)

Untuk melakukan sholat Qashar, maka kita mesti berniat untuk sholat Qashar. Karena disingkat menjadi 2 raka’at, maka perlakuannya serupa dengan sholat Shubuh.

Selain itu ada juga syarat-syarat yang mesti diperhatikan:
1. Orang yang melakukan qashar = musafir.
2. Seseorang dikatakan musafir jika menempuh lebih kurang 88 km (atau lebih). Di hadits lain disebutkan bahwa Rasululloh SAW jika bepergian lebih dari 15 km, beliau juga melakukan qashar, seperti hadits berikut,“Dari Yahya bin Yazid al-Hana?i berkata, saya bertanya pada Anas bin Malik tentang jarak shalat Qashar. Anas menjawab: “Adalah Rasululloh SAW jika keluar menempuh jarak 3 mil atau 3 farsakh beliau shalat dua rakaat.” (HR Muslim)

Pertanyaannya, apakah boleh kita menggabungkan jama’ dan qashar?

Di dalam bukunya, As-Shalah (hal 181), Prof.Dr. Abdullah Ath-Thayyar menyatakan bahwa Rasululloh SAW pernah melakukan gabungan jama’ dan qashar sekaligus. Pendapat ini juga merupakan fatwa para ulama termasuk syaikh Abdul Aziz bin Baz.

Semoga bermanfaat

Tentang Sholat dan Video Tata Cara Shalat

1. Berniat menjadi makmum.
Seorang makmum mesti berniat menjadi makmum. Apabila dia berniat menjadi imam, sementara kondisinya dia adalah makmum, maka bisa dikatakan tidak sah sholatnya.

2. Makmum WAJIB mengikuti gerakan imam.
Hal ini terutama jika makmum tersebut terlambat (masbuq). Dalilnya adalah hadits berikut,“Imam itu dijadikan hanyalah semata-mata agar diikuti. Apabila ia sudah takbir, bertakbirlah kamu; apabila dia ruku, rukulah kamu; apabila dia sujud, sujudlah kamu. Apabila dia shalat dengan berdiri, shalatlah kamu dengan berdiri.” (HR Bukhari)

*Terkait dengan dalil ini, maka menurut pendapat (penafsiran) pribadi, saya beranggapan seorang makmum mesti mengikuti gerakan imam, selama gerakan imam tersebut tidak menyalahi ketentuan/rukun sholat. Dengan demikian, jika seorang makmum tidak mengikuti gerakan imam (dia memisahkan diri dari imam yg dia ikuti), maka makmum tersebut ‘batal’ menjadi makmum dan dia dianggap sebagai sholat sendiri.

Hal ini seringkali terjadi saat qunut. Seperti saya pernah utarakan, qunut BUKANLAH harga mati. Dengan demikian, apabila imamnya qunut, hendaklah sang makmum ikut qunut, walau dia bukan penganut aturan qunut. Jika sang makmum tidak berqunut, berdasar penafsiran saya terhadap hadits di atas, maka sang makmum dianggap sholat sendiri.

Hal yg sama apabila sang imam tidak berqunut, lalu makmumnya berqunut. Maka sang makmum dianggap sholat sendiri, bukan berjama’ah.


3. Makmum DILARANG MENDAHULUI imam.
Perhatikan hadits berikut. Dari Anas r.a, Rasululloh SAW berkata,”Hai manusia, sesungguhnya aku imam bagi kamu, maka janganlah kamu mendahului aku waktu ruku’, sujud, berdiri, duduk, dan salam.” (HR Ahmad dan Muslim)

Dalam hadits lain disebutkan, dari Abu Hurairah r.a, katanya telah bersabda Rasululloh SAW,”Apakah seseorang tidak takut, apabila ia, megangkat kepalanya mendahului imam, ALLOH akan mengubah kepalanya menjadi kepala himar (keledai).”

Dengan demikian, jelaslah, bahwa seorang makmum itu TIDAK BOLEH mendahului imam. Sayangnya, dalam kehidupan sehari-hari, pada saat sholat berjama’ah, seringkali saya temui para makmum ‘balapan’ dengan imam dalam melakukan gerakan.

Agar seorang makmum tidak dianggap mendahului imam, hendaknya makmum tidak dulu melakukan gerakan hingga imam selesai melakukan gerakan. Biasanya, untuk mudahnya, selesainya sebuah gerakan diiringi dengan takbir.

Sebagai contoh, saat takbiratul ihram. Seorang imam akan mengucapkan “ALLOOOOOHU AKBAR”. Saat kata “Bar”, imam sudah menyedekapkan tangan. Saat itulah, makmum baru bergerak mengikuti gerakan imam, dengan melakukan takbiratul ihram dan menyedekapkan tangan.

Contoh lain, usai i’tidal (berdiri dari ruku) menuju sujud, imam mengucapkan “ALLOOOOOHU AKBAR”. Saat kata “Bar”, imam sudah dalam posisi sujud. Saat itu, makmum juga mengikuti imam.

Kenyataannya, seringkali saya dapati, terutama makmum di sisi kanan dan kiri, imam belum selesai mengucap “Bar”, mereka sudah bergerak mengikuti imam. Lebih ekstrim lagi pernah saya temui, seorang makmum sudah siap sujud, padahal sang imam baru i’tidal.

Dalil yg menguatkan adalah sebagai berikut, Abdullah bin Yazid berkata, “Al-Barra’ memberitahukan kepadaku, sedangkan dia bukan seorang pendusta, bahwa Rasululloh mengucapkan, ‘Sami’allahu liman hamidah’, maka tidak ada seorang pun di antara kami yang membengkokkan punggungnya sehingga Nabi sujud. Kemudian sesudah itu kami turun untuk sujud.’”

Semoga kita bisa lebih memperhatikan sholat kita, terutama saat menjadi makmum.

4. Susunan makmum.
Susunan makmum, yang dicontohkan Rasululloh SAW adalaha sebagai berikut:
- Makmum laki-laki berdiri di belakang imam.
- Makmum anak kecil (laki-laki) berdiri di belakang makmum laki-laki.
- Makmum perempuan (dewasa ataupun anak kecil) berdiri di sebelah belakang makmum anak kecl laki-laki.

Dalil dari posisi ini adalah hadits berikut,”Nabi pernah mengatur barisan laki-laki dewasa di depan barisan anak-anak, dan barisan perempuan di belakang barisan anak-anak.” (Al Hadits)

Di beberapa tempat, saya pernah temui makmum perempuan sejajar dengan makmum laki-laki. Ketika saya konfirmasi kepada pengurus masjid, mereka mengatakan bahwa adalah hal sulit untuk menempatkan makmum perempuan di belakang makmum laki-laki karena tata ruang dari masjid mereka sudah begitu adanya.

Saya pribadi menyayangkan alasan itu, karena sebenarnya hal2 seperti itu masih bisa dicarikan solusinya.

5. Makmum mesti mendengarkan bacaan imam.
Dalilnya adalah,“Barangsiapa mengikuti imam, maka bacaan imam itu (menjadi) bacaan baginya.”. Hadits lain,”Dijadikan imam itu hanya untuk diturut. Karenanya, apabila ia takbir hendaklah kamu takbir, dana apabila ia membaca (Al Qur’an pada saat sholat), hendaklah kamu diam (mendengarkan).” (HR Ahmad)

6. Makmum menyebut aamiin.
Aamiin MESTI diucap oleh makmum apabila imam selesai membaca Al Fatihah. Dalilnya, Abu Hurairah bahwa Rasululloh bersabda, “Apabila imam selesai mengucapkan, ‘Ghairil maghdhuubi ‘alaihim waladhdhaalliin ; maka ucapkanlah, ‘Amin.’ Karena sesungguhnya orang yang bacaannya bersamaan dengan malaikat, maka diampunilah dosanya yang telah lalu.”

Dalam hadits di atas juga disebutkan, sebaiknya ucapan aamiin ini bersama-sama dengan imam, karena dosanya akan diampuni, sebagaimana hadits berikut, Abu Hurairah mengatakan bahwa Nabi saw bersabda, “Apabila imam (dan dalam satu riwayat: pembaca 7/167) membaca amin, maka bacalah amin olehmu. Karena, malaikat juga mengucapkan amin. Sesungguhnya barangsiapa yang bacaan aminnya bersamaan dengan bacaan amin malaikat, maka diampunilah dosanya yang telah lampau.”

7. Makmum tidak boleh terpisah dari imam.
Untuk poin 7 ini, sedikitnya ada 2 pendapat:
a) Makmum MESTI BISA melihat imam

b) Makmum cukup bisa mendengar imam
Dalilnya: Abu Mijlaz berkata, “Boleh seseorang bermakmum kepada imam, meskipun di antara keduanya terdapat jalan atau dinding apabila dia dapat mendengar takbir imam.”

8. Makmum laki-laki TIDAK BOLEH berimam kepada imam perempuan.
Dalil dari poin 8 ini adalah hadits,“Perempuan janganlah dijadikan imam, sedangkan makmumnya laki-laki.” (HR Ibnu Majah).

Barangkali pembaca akan teringat dengan kasus di New York beberapa tahun lalu, ketika ada seorang muslimah yg menjadi imam sholat dan ada makmumnya laki-laki. Belakangan diketahui bahwa muslimah tersebut adalah aktivis gerakan feminisme, yg beranggapan dalam Islam, perempuan juga punya hak yg sama untuk mengimami laki-laki.

Saya tidak tahu apakah dirinya pernah membaca hadits di atas, karena sudah jelas sekali aturannya.

9. Makmum mesti merapatkan shaf, terutama bila lebih dari 1 orang.
Hendaknya para makmum merapatkan shaf, karena shaf yg rapat merupakan keutamaan sholat. Dalil-dalil yg berkaitan dengan merapatkan shaf adalah sebagai berikut:
- Nu’man bin Basyir berkata, “Rasululloh bersabda, ‘Sungguh kamu sekalian meluruskan shaf-shafmu atau Allah memalingkan antara muka muka kamu.”
- Anas r.a. berkata, “Iqamah telah dikumandangkan, lalu Rasululloh menghadap kami dan bersabda, ‘Luruskanlah shaf-shaf kamu dan rapatkanlah, karena sesungguhnya aku melihatmu dari belakang punggungku.’ Salah seorang dari kami menempelkan pundaknya ke pundak kawannya, dan kakinya ke kaki kawannya.”
- Abu Hurairah mengatakan bahwa Nabi saw bersabda, “Imam itu dijadikan untuk diikuti. Karena itu, janganlah kamu menyalahinya. Apabila dia sudah bertakbir, maka bertakbirlah kamu (1/179). Apabila dia ruku, maka rukulah kamu. Apabila dia membaca, ‘Sami’allaahu liman hamidah’ ; maka bacalah, ‘Rabbana wa lakal hamdu.’ Apabila dia sujud, maka sujudlah kamu. Apabila dia shalat dengan duduk, maka shalatlah kamu semua dengan duduk. Luruskan shaf (barisan) dalam shalat, sesungguhnya meluruskan shaf itu sebaik-baik shalat.”
- Anas mengatakan bahwa Nabi saw bersabda, “Luruskanlah shaf kalian, karena meluruskan shaf itu adalah termasuk kesempurnaan mendirikan shalat.”

Bagaimana posisi shaf yg rapat itu? Dalam hadits Anas sudah disebutkan, shaf yg rapat itu adalah pundak bertemu pundak, dan kaki bertemu kaki. Dalil lainnya adalah Nu’man bin Basyir berkata, “Aku melihat bahwa setiap orang di antara kami merapatkan mata kakinya dengan mata kaki sahabatnya.”

10. Posisi shaf yg utama bagi makmum.
Posisi yang dimaksud di sini bukanlah posisi seperti di poin 4.

Posisi shaf yg utama bagi laki-laki adalah di depan. Semakin depan (dekat dg imam), maka semakin utama. Sementara bagi perempuan, shaf terbaik adalah di belakang. Semakin belakang semakin utama bagi mereka.

Dalilnya adalah,“Sebaik-baik shaf (barisan) laki-laki itu di bagian depan, dan seburuk-buruknya di bagian belakang. Dan sebaik-baiknya shaf perempuan adalah di bagian belakang dan seburuk-buruknya di bagian depan.” (HR Muslim)

Semoga artikel ini bermanfaat dan meningkatkan gairah kita (terutama kaum laki-laki) untuk sholat berjama’ah.

Kamis, 27 Oktober 2011

TINJAUAN KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM, PENDIDIK, PESERTA DIDIK, DAN LINGKUNGAN DALAM PANDANGAN FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

Makalah ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Kelompok:
Mata Kuliah Filsafat Pendidikan Islam
Dosen Pengampu: Prof. Dr. Sutrisno, M. Ag.







KELAS : PAI-B
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2011
PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan kata kunci bagi setiap manusia untuk mendapatkan ilmu. Hanya dengan pendidikanlah ilmu akan didapat dan diserap dengan baik. Pendidikan juga merupakan suatu metode atau pendekatan yang sesuai dengan fitrah manusia yang memiliki fase tahapan dalam pertumbuhan dan perkembangannya untuk menjadi manusia paripurna.
Dalam kaca mata Islam, pendidikan merupakan suatu unsur yang terpenting untuk menempatkan manusia diposisi yang paling mulia dihadapan Allah. Karena hanya orang yang berilmulah yang akan mendapatkan suatu kebahagiaan diakhirat.
Pendidikan islam merupakan suatu upaya yang terstruktur untuk membentuk manusia paripurna (insan kamil) melalui suatu institusi pendidikan yang kondusif untuk menyiapkan dan menciptakan bentuk masyarakat yang ideal untuk masa depan. Sejalan dengan konsep tersebut, maka pendidikan Islam harus memiliki seperangkat isi atau bahan yang akan ditransformasikan kepada peserta didik supaya memiliki kepribadian yang sesuai dengan ajaran Islam. Untuk itu perlu dirancang suatu bentuk kurikulum pendidikan Islam yang sepenuhnya mengacu pada nilai-nilai ajaran Islam.

Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah yang diambil dalam makalah ini antara lain sebagai berikut:
1. Bagaimana tinjauan kurikulum pendidikan dalam filsafat pendidikan Islam?
2. Bagaimana tinjauan filosofis pendidik dalam filsafat pendidikan Islam?
3. Bagaimana tinjauan filosofis anak didik dalam filsafat pendidikan Islam?
4. Bagaimana tinjauan lingkungan pendidikan dalam filsafat pendidikan Islam?




PEMBAHASAN

A. Kurikulum Pendidikan Islam
1. Pengertian Kurikulum
Menurut bahasa, kurikulum berasal dari bahasa Latin curriculum yang berarti bahan pengajaran. Ada pula yang mengatakan bahwa kata tersebut berasal dari bahasa Perancis courier yang berarti berlari. Selanjutnya kata kurikulum berkembang menjadi suatu istilah yang digunakan untuk menunjukkan pada sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh untuk mencapai suatu gelar atau ijazah, serta ada beberapa pendapat lain tentang kurikulum, yang akhirnya disimpulkan bahwa kurikulum pada hakekatnya merupakan rancangan mata pelajaran bagi suatu kegiatan jenjang pendidikan tertentu, dan dengan menguasainya seseorang dapat dinyatakan lulus dan berhak memperoleh ijazah. Akan tetapi, seiring perkembangan zaman, definisi dari kurikulum pun mengalami perkembangan pemaknaan, seperti yang diungkapkan oleh S. Nasution yang menyebutkan bahwa kurikulum bukan hanya sekedar memuat mata pelajaran, akan tetapi termasuk pula di dalamnya segala usaha sekolah untuk mencapai tujuan yang diinginkan, baik usaha tersebut dilakukan di lingkungan sekolah maupun di luar sekolah.
Pendapat S. Nasution tersebut sejalan dengan pemikiran Hasan Langgulung yang berpendapat bahwa kurikulum merupakan sejumlah pengalaman pendidikan, kebudayaan, sosial, olah raga, dan kesenian, baik yang berada di dalam maupun di luar kelas yang dikelola oleh sekolah.
2. Cakupan Kurikulum
Dengan semakin berkembangnya pengertian dari kurikulum, maka cakupan bahan pengajaran yang terdapat di dalam kurikulum juga semakin luas. Adapun cakupan dari kurikulum meliputi empat bagian, yaitu, pertama, bagian yang berkenaan dengan tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh proses belajar-mengajar, kedua, bagian yang berisi pengetahuan, informasi-informasi, data, aktivitas-aktivitas, dan pengalaman-pengalaman yang merupakan bahan bagi penyusunan kurikulum yang isinya berupa mata pelajaran yang kemudian dimasukkan dalam silabus. ketiga, bahan yang berisi metode atau cara menyampaikan mata pelajaran, dan yang keempat, bagian yang berisi metode atau cara melakukan penilaian dan pengukuran atas hasil pengajaran dan pelajaran tertentu.
3. Asas-asas Kurikulum
Asas-asas kurikulum merupakan bagian yang perlu diperhatikan dengan cermat dalam menyusun kurikulum. Menurut S. Nasution, ada beberapa asas dalam penyusunan kurikulum. Empat asas tersebut antara lain adalah asas filosofis, sosiologis, organisatoris, dan psikologis. Asas filosofis berperan sebagai penentu tujuan umum pendidikan. Asas sosiologis berperan memberikan dasar untuk menentukan apa saja yang akan dipelajari sesuai dengan kebutuhan masyarakat, kebudayaan, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan asas organisatoris berfungsi memberikan dasar-dasar dalam bentuk bagaimana bahan pelajaran disusun, dan bagaimana penentuan luas dan urutan mata pelajaran. Kemudian asas psikologis berperan memberikan berbagai prinsip-prinsip tentang perkembangan anak didik dalam berbagai aspeknya, serta cara menyampaikan bahan pelajaran agar dapat dicerna dan dikuasai oleh anak didik sesuai dengan tahap perkembangannya.
Selanjutnya dilihat dari segi peran dan orientasinya, kurikulum dapat dibagi menjadi empat macam, yaitu kurikulum yang bercorak humanistik, rekonstruksi sosial, teknologis, dan akademis. Kelompok yang berorientasi pada humanistik berpendapat bahwa kurikulum seharusnya memberikan pengalaman kepada setiap pribadi secara memuaskan, dan memandang kurikulum sebagai proses yang memberikan kebutuhan bagi pertumbuhan dan integritas pribadi seseorang secara bebas dan bertanggungjawab. Kelompok yang berorientasi pada rekonstruksi sosial melihat kurikulum sebagai alat untuk mempengaruhi perubahan sosial dan menciptakan masa depan yang lebih baik bagi masyarakat. Kemudian bagi yang berorientasi pada teknologis memandang kurikulum sebagai teknologi untuk mewujudkan tujuan yang dikehendaki oleh pembuat kebijaksanaan. Sedangkan bagi yang berorientasi pada akademik melihat kurikulum sebagai upaya peningkatan intelektual dengan cara memperkenalkan siswa pada berbagai macam pelajaran yang terorganisir dengan baik.

4. Kurikulum dalam Pendidikan Islam
Menurut Omar Muhammad al-Taoumy al-Syainaby, kurikulum dalam Pendidikan Islam memiliki lima ciri, yaitu antara lain sebagai berikut:
a. Menonjolkan tujuan agama dan akhlak pada berbagai tujuan dan kandungan, metode, alat, dan tekniknya bercorak agama.
b. Meluas cakupannya dan menyeluruh kandungannya.
c. Seimbangan di antara berbagai ilmu yang dikandung dalam kurikulum yang digunakan.
d. Menyeluruh dalam menata seluruh mata pelajaran yang diperlukan anak didik.
e. Kurikulum yang disusun selalu disesuaikan dengan bakat dan minat anak didik.
5. Prinsip Kurikulum Pendidikan Islam
Selain memiliki lima ciri, kurikulum dalam Pendidikan Islam juga memiliki beberapa prinsip, antara lain sebagai berikut:
a. Prinsip pertautan yang sempurna dengan agama, termasuk ajaran dan nilai-nilainya.
b. Prinsip menyeluruh (universal) pada tujuan-tujuan dan kandungan kurikulum.
c. Prinsip keseimbangan yang relatif antara tujuan-tujuan dan kandungan kurikulum.
d. Prinsip perkaitan antara bakat, minat, kemampuan, dan kebutuhan pelajar.
e. Prinsip pemeliharaan perbedaan-perbedaan individual anak didik, baik dalam bakat maupun minatnya.
f. Prinsip menerima perkembangan dan perubahan sesuai dengan perkembangan zaman dan tempat.
g. Prinsip keterkaitan antara berbagai mata pelajaran dengan pengalaman-pengalaman dan aktivitas yang terkandung dalam kurikulum.
Selain ketujuh prinsip di atas, kurikulum dalam Pendidikan Islam juga memiliki landasan yang meliputi dasar agama, filsafat, psikologis, dan dasar sosial.
B. Hakekat Pendidik
1. Pengertian Pendidik
Pendidik adalah orang yang mendidik. Pengertian ini memberi kesan bahwa pendidik adalah orang yang bertugas di lembaga pendidikan yaitu untuk mendidik anak didik, atau orang yang berfungsi untuk mendidik. Dalam pendidikan formal baik dari tingkat dasar sampai menengah pendidik disebut guru, sedangkan di perguruan tinggi disebut dengan dosen dan/atau guru besar. Dalam bahasa Arab, juga ditemukan beberapa istilah yang memiliki makna pendidik, yaitu ustadz, mudarris, mu’allim, dan mu’addib.
Perbedaan tersebut juga berangkat dari penggunaan istilah pendidikan yang digunakan. Bagi orang yang berpendapat bahwa istilah yang tepat untuk menggunakan pendidikan adalah tarbiyah, maka seorang pendidik disebut murabbi, jika ta’līm yang dianggap lebih tepat, maka pendidiknya disebut mu’allim, dan jika ta’dīb yang dianggap lebih cocok untuk makna pendidikan, maka pendidik disebut dengan mu’addib.
Dari banyak istilah tentang pendidik di atas, kata pendidik yang beraneka macam ini tidak akan mempengaruhi makna pendidik yang sebenarnya, yaitu pendidik tidak hanya sebagai orang yang menyampaikan materi kepada peserta didik (transfer of knowladge), tetapi juga bertugas untuk mengembangkan kemampuan peserta didik secara optimal (tranformation of knowladge) serta menanamkan nilai (internalitation of values) yang berlandaskan kepada ajaran Islam.
2. Kedudukan Pendidik
Dalam konteks Islam secara eksplisit tidak ditemukan ayat-ayat yang berbicara tentang pendidik, tetapi ketika kita telusuri secara implisit dalam al-Qur’an disebutkan mengenai ilmu dan kedudukan orang yang berilmu. Ketika kita membicarakan mengenai orang berilmu tentunya memiliki hubungan erat dengan pendidik, dimana pendidik adalah orang yang memiliki dan mengajarkan ilmu. Dalam al-Qur’an ditemukan ayat-ayat yang menunjukkan bahwa Allah memposisikan pendidik pada tempat terhormat. Seperti firman-Nya:





Artinya: Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S. al-Mujadilah: 11)
Selain dari ayat di atas, juga terdapat firman Allah dalam surat az-Zumar tentang posisi seorang pendidik dengan ilmu yang dimilikinya. Firman-Nya:





Artinya: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. (Q.S. az-Zumar: 9).
Berdasarkan analisa di atas, tampak bahwa apa yang disebutkan dalam al-Qur’an mengenai kedudukan pendidik yang demikian tinggi itu. Menurut al-Ghazali seorang sarjana yang bekerja mengamalkan ilmunya adalah lebih baik daripada seorang yang hanya beribadat saja. Sejalan dengan pendapat al-Ghazali, Athiyah al-Abrasy mengatakan, seseorang yang berilmu dan kemudian ia mengamalkan ilmunya itu, maka orang itulah yang dinamakan orang yang berjasa besar di dunia ini. Orang tersebut bagaikan matahari yang menyinari orang lain dan juga menerangi dirinya sendiri, ibarat minyak kasturi yang yang baunya dinikmati orang lain dan dirinya sendiri. Sedangkan para ulama menjelaskan tentang kedudukan guru, yaitu sebagai bapak spiritual bagi seorang murid baik dalam konsep pendidikan informal dan formal. Karena semua guru pada dasarnya sama-sama menanamkan akhlak yang baik yang dapat memberikan kedamaian hidupnya, dan juga memberikan ilmu dan nilai pengetahuan untuk bekal hidupnya di dunia dan di akhirat.
3. Tugas Pendidik
Menurut Raka Joni ( Conny R. Semiawan dan Soedijarto, 1991) hakikat tugas guru pada umumnya adalah berhubungan dengan pengembangan sumber daya manusia yang pada akhirnya akan paling menentukan kelestarian dan kejayaan kehidupan bangsa. Dengan kata lain, bahwa guru mempunyai tugas membangun dasar-dasar dari corak kehidupan manusia di masa yang akan datang.
Sementara Hujjatul Islam, Imam al-Ghazali, seperti yang dikutip Samsul Nizar, bahwa tugas pendidik yang utama adalah menyempurnakan, membersihkan, mensucikan, serta membawa hati manusia untuk taqarrub ila Allah. Para pendidik hendaknya mengarahkan peserta didik untuk mengenal Allah lebih dekat melalui seluruh ciptaannya. Begitu pula an-Nahlawi berpendapat bahwa selain bertugas mengalihkan berbagai pengetahuan dan keterampilan kepada peserta didik, tugas utama yang perlu dilakukan pendidik adalah tazkiyat an-nafs yaitu mengembangkan, membersihkan, mengangkat jiwa peserta didik kepada Khaliq-Nya, menjauhkan dari kejahatan, dan menjaganya agar tetap berada pada fitrah-Nya yang hanif.
Dalam al-Qur’an juga disinggung bahwa tugas pendidik dalam konteks pendidik sebagai waratsatul an-biya’ memang bertugas sebagai sekaligus mu’allim sebagai muzakky. Hal ini sesuai dengan tugas Rasul dalam firman-Nya:





Artinya: Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan ni'mat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui. (Q.S. al-Baqarah: 151).
4. Karakteristik Pendidik yang Baik dan Ideal
a. Menurut al-Ghazali
1) Guru harus mencintai muridnya seperti mencintai anak kandungnya sendiri
2) Guru jangan mengaharapkan materi(upah) sebagai tujuan utama dari pekerjaannya (mengajar), karena mengajar adalah tugas yang diwariskan oleh Nabi Muhammad SAW. Sedangkan upahnyaterletak pada terbentuknya anak didik yang mengamalkan ilmu yang diajarkannya.
3) Guru harus mengingatkan muridnya agar tujuannya dalam menuntut ilmu bukan untuk kebanggan diri atau mencari keuntungan pribadi, tetapi untuk mendekatkan diri kepada Allah.
4) Guru harus mendorong muridnya agar mencari ilmu yang bermanfaat, yaitu ilmu yang membawa kebahagiaan dunia akhirat.
5) Dihadapan muridnya guru harus memberikan contoh yang baik, seperti berjiwa halus, sabar, lapang dada, rendah hati, sopan dan berakhlak terpuji lainnya.
6) Guru harus mengajarkan pelajaran yang sesuai dengan tingkat intelektual dan daya tangkap anak didik.
7) Guru harus mengamalkan yang diajarkannya, karena guru menjadi idola dimata murid-muridnya.
8) Guru harus memahami minat, bakat dan jiwa anak didiknya, sehingga tidak akan salah dalam mendidik, juga akan terjalin hubungan yang akrab dan baik antara guru dengan muridnya.
9) Guru harus dapat menanamkan keimanan kedalam pribadi anak didiknya, sehingga akal piker anak didiknya tersebut akan dijiwai oleh keimanan tersebut.
Jika tipe guru yang dikehendaki al Ghazali tersebut dilihat dari perspektif guru sebagai profesi, tampak diarahkan pada aspek moral dan kepribadian, sedangkan aspek keahlian dan profesionalnya nampaknya kurang diperhatikan.
b. Menurut Ikhwan al-Safa
Sejalan dengan yang mengatakan bahwa ilmu itu harus diusahakan, maka dalam usaha tersebut memerlukan guru. Nilai seorang guru menurutnya tergantung pada caranya menyampaikan ilmu pengetahuan. Untuk ini mereka mensyaratkan agar guru memiliki syarat-syarat yang sesuai dengan persyaratan pendidik.
C. Peserta Didik Menurut Filsafat Pendidikan
1. Pengertian Peserta Didik
Dilihat dari segi kedudukannya, anak didik adalah makhluk hidup yang sedang berada dalam proses perkembangan dan pertumbuhan menurut fitrahnya masing-masing yang memerlukan bimbingan dan pengarahan yang konsisten menuju ke arah titik optimal kemampuan fitrahnya. Dalam pandangan yang lebih modern, anak didik tidak hanya dianggap sebagai obyek atau sasaran pendidikan, melainkan juga harus diperlakukan sebagai subyek pendidikan. Dalam bahasa Arab dikenal tiga istilah yang sering digunakan untuk menunjukan pada anak didik kita. Tiga istilah tersebut adalah, murid yang secara harfiah berarti orang yang menginginkan atau membutuhkan sesuatu; tilmidz (jamaknya) talamidz yang berarti murid, dan thalib al-ilm yang menuntut ilmu, pelajar, atau mahasiswa. Ketiga istilah tersebut seluruhnya mengacu kepada seseorang yang tengah menempuh pendidikan. Perbedaannya hanya pada penggunaannya.
Berdasarkan pengertian di atas, maka anak didik dapat dicirikan sebagai orang yang tengah memerlukan pengetahuan atau ilmu, bimbingan, dan pengarahan. Dalam pandangan Islam, hakikat ilmu berasal dari Allah, sedangkan proses memperolehnya dilakukan melalui belajar kepada guru. Selain memerlukan bantuan guru, seorang anak didik yang sedang belajar juga memerlukan kawan tempat mereka berbagi rasa dan belajar bersama.
2. Hakikat Anak Didik
Dalam perspektif filsafat pendidikan Islam, hakikat anak didik terdiri dari beberapa macam, yaitu:
a. Anak didik adalah darah daging sendiri, orang tua adalah pendidik bagi anak-anaknya maka semua keturunannya menjadi anak didiknya di dalam keluarga.
b. Anak didik adalah semua anak yang berada di bawah bimbingan pendidik di lembaga pendidikan formal maupun nonformal, seperti sekolah, pondok pesantren, tempat pelatihan, sekolah keterampilan, tempat pengajian anak-anak TPA, majelis taklim, dan sejenis.
c. Anak didik secara khusus adalah orang-orang yang belajar di lembaga pendidikan tertentu yang menerima bimbingan, pengarahan, nasihat, pembelajaran, dan berbagai hal yang berkaitan dengan proses kependidikan.
Bagi para pendidik, anak didik adalah anaknya sendiri. Oleh karena itu, para pendidik bertangung jawab melihat perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan anak didiknya, terutama akhlaknya, serta berkewajiban menjaga nama baik lembaga pendidikan dengan mengajarkan pendidikan akhlak kepada anak didiknya, para pendidik membina anak didiknya dengan materi pengetahuan yang sesuai dengan tujuan lembaga pendidikan yang dimaksudkan.
3. Akhlak Anak Didik
Asma Hasan Fahmi menyebutkan empat akhlak yang harus dimiliki anak didik, yaitu:
a. Seorang anak didik harus membersihkan hatinya dari kotoran dan penyakit jiwa sebelum ia menuntut ilmu, karena belajar merupakan ibadah yang tidak sah dikerjakan kecuali dengan hati yang bersih.
b. Seorang anak didik harus mempunyai tujuan menuntut ilmu dalam rangka menghiasi jiwa dengan sifat keutamaan, mendekatkan diri kepada Tuhan, dan bukan untuk mencari kemegahan dan kedudukan.
c. Seorang pelajar harus tabah dalam memperoleh ilmu pengetahuan dan bersedia pergi merantau. Selanjutnya apabila ia menghendaki pergi ke tempat yang jauh untuk memperoleh seorang guru, maka ia tidak boleh ragu-ragu untuk itu.
d. Seorang anak didik wajib menghormati guru dan berusaha agar senantiasa memperoleh kerelaan guru, dengan mempergunakan bermacam-macam cara.
4. Perbedaan Anak Didik
Seorang anak adalah individu yang memiliki ciri-ciri dan bakat tertentu, yang membedakan satu anak dari anak lainnya dalam lingkungan sosial. Lingkungan sosial di sini adalah lingkungan sosial masyarakat dalam arti luas. Jenis kelamin, raut muka, bentuk tubuh anak adalah faktor pembawaan yang dibawa sejak lahir. Ciri-ciri ini dapat menjadi tolok ukur perbedan anak didik sebagai individu. Pendekatan filosofis dalam memahami karakteristik anak didik membedakan tiga perbedaan anak didik yang dihadapi. Tiga perbedaan itu yaitu sebagai berikut:
a. Perbedaan biologis
Perbedaan biologis berkaitan dengan keadaan jasmani anak didik karena tidak semua anak didik memiliki jasmani yang normal. Jika pendidik kurang memperhatikan perihal tersebut, pendidikan berjalan kurang sempurna.
b. Perbedaan intelektual
Menurut Syaiful Bahri Djamarah, intelegensi adalah satu aspek yang aktual untuk dibicarakan dalam dunia pendidikan, karena intelegensi adalah unsur yang ikut mempengaruhi keberhasilan belajar anak didik.
Intelegensi adalah kemampuan memahami dan beradaptasi dengan situasi yang baru dengan cepat dan efektif, kemampuan untuk menggunakan konsep yang abstrak secara efektif, dan kemampuan untuk memahami hubungan dan mempelajarinya dengan cepat.
c. Perbedaan psikologis
Keadaan psikologis anak didik dipengaruhi oleh lingkungan keluarga, lingkungan sosial, dan oleh lingkungan sekolahnya. Para pendidik secara langsung dapat mempengaruhi psikologis anak didik, misalnya pendidik yang terkesan galak, mudah tersinggung, dan kurang kreatif, akan menyebabkan anak didiknya kurang menyukai mata pelajaran yang disampaikan atau kurang menyukai pendidiknya secara pribadi.
5. Dimensi-Dimensi Peserta Didik
Pada hakekatnya dimensi adalah salah satu media yang dibutuhkan oleh peserta didik untuk membentuk diri, sikap, mental, sosial, budaya, dan kepribadian di masa yang akan datang (kedewasaan). Dimensi-dimensi itu antara lain sebagai berikut:
a. Dimensi fisik (jasmani)
Fisik manusia terdiri dari dua unsur, yaitu unsur biotik dan unsur abiotik. Manusia sebagai peserta didik memiliki proses penciptaan yang sama dengan makhluk lain seperti hewan. Namun yang membedakan adalah manusia lebih sempurna dari hewan, hal ini dikarenakan manusia memiliki nafsu yang dibentengi oleh akal sedangkan hewan hanya memiliki nafsu dan insthink bukannya akal.
b. Dimensi akal
Akal pada diri manusia tidak dapat berdiri sendiri, ia membutuhkan bantuan qolb (hati) agar dapat memahai sesuatu yang bersifat ghoib seperti halnya ketuhanan, mu’jizat, wahyu dan mempelajarinya lebih dalam. Akal yang seperti ini adalah potensi dasar manusia yang ada pada diri manusia sejak lahir. Potensi ini perlu mendapatkan bimbingan serta didikan agar tetap mampu berkembang kearah yang positif.
c. Dimensi keberagamaan
Manusia sejak lahir telah menerima kodrat sebagai homodivinous atau homo religius yaitu makhluk yang percaya adanya Tuhan atau makhluk yang beragama. Dalam Islam diyakini bahwa pada saat janin manusia berada dalam kandungan ibu, dan ketika ditiupkan nyawa ke dalam janin, maka janin mengatakan bahwa aku akan beriman (Allah). Dari sinilah manusia mempunyai fitrah sebagai makhluk yang memiliki kepercayaan adanya Tuhan sejak lahir.
d. Dimensi akhlak
Kata akhlak dalam pendidikan Islam adalah seuatu yang sangat diutamakan dan sangat erat kaitannya dengan pendidikan agama sehingga dikatakan bahwa akhlak tidak dapat lepas dari pendidikan agama.
e. Dimensi rohani (kejiwaan)
Dimensi rohani adalah dimensi yang sangat penting karena rohani (kejiwaan) harus dapat mengendalikan keadaan manusia untuk hidup bahagia, sehat, merasa aman dan tenteram. Penciptaan manusia tidak akan sempurna sebelum ditiupkan oleh Allah sebagian ruh baginya.
f. Dimensi seni (keindahan)
Seni merupakan salah satu potensi rohani yang terdapat pada diri manusia. Sehingga seni dalam diri manusia harus lah dikembangkan. Seni dalam diri manusia merupakan sarana untuk mencapai tujuan hidup. Namun tujuan utama seni pada diri manusia adalah untuk beribadah kepada Allah dan menjalankan fungsi kekhalifahannya serta mendapatkan kebahagiaan spiritual yang menjadi rahmat bagi sebagian alam dan keridhoan Allah SWT.
g. Dimensi sosial
Dimensi sosial bagi manusia erat kaitannya dengan sebuah golongan, kelompok, maupun lingkungan masyarakat. Lingkungan terkecil dalam dimensi sosial adalah keluarga, yang berperan sebagai sumber utama peserta didik untuk membentuk kedewasaan. Di dalam Islam dimensi sosial dimaksudkan agar manusia mengetahui bahwa tanggung jawab tidak hanya diperuntukkan pada perbuatan yang bersifat pribadi namun perbuatan yang bersifat umum.
D. Lingkungan dalam Pendidikan Islam
1. Pengertian Lingkungan Tarbiyah Islamiyah
Salah satu sistem yang memungkinkan proses kependidikan Islam berlangsung secara konsisten dan berkesinambungan dalam rangka mencapai tujuannya adalah instiuisi atau kelembagaan pendidikan Islam. Lingkungan tarbiyah Islamiyyah itu adalah suatu lingkungan yang di dalamnya terdapat ciri-ciri keislaman yang memungkinkan terselenggaranya pendidikan Islam dengan baik.
Al-Qur’an tidak mengemukakan penjelasan mengenai lingkungan pendidikan Islam tersebut, kecuali lingkungan pendidikan yang dalam praktek sejarah digunakan sebagai tempat berlangsungnya kegiatan pendidikan, yaitu rumah, masjid, sanggar kegiatan para sastrawan, madrasah dan universitas.
2. Fungsi Lingkungan Tarbiyah Islamiyah
Sebagai lingkungan tarbiyah Islamiyyah, ia mempunyai fungsi antara lain menunjang terjadinya proses kegiatan belajar mengajar secara aman, tertib, berkelanjutan.
Pada perkembangan selanjutnya institusi lembaga pendidikan ini disederhanakan menjadi lingkungan sekolah pendidikan dan pendidikan luar sekolah.
a. Satuan Pendidikan Luar Sekolah
Di antara satuan pendidikan di luar sekolah adalah keluarga yang berlangsung di rumah. Secara literal keluarga merupakan unit sosial terkecil yang terdiri dari orang yang berada dalam seisi rumah yang sekurang-kurangnya terdiri dari suami istri. Sedangkan dalam arti normatif, keluarga adalah kumpulan beberapa orang yang karena terikat oleh suatu ikatan perkawinan, lalu mengerti dan merasa berdiri sebagai suatu gabungan yang khas dan bersama-sama memperteguh gabungan itu untuk kebahagiaan, kesejahteraan, dan ketentraman semua anggota yang ada di dalam keluarga tersebut.
Terciptanya keluarga dalam pandangan Al-Qur’an dianggap sebagai sesuatu yang suci dan tidak sepantasnya dijadikan sarana untuk bermain-main atau pemuas hawa nafsu biologis seksual semata, melainkan digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan mulia, seperti saling membina kasih sayang, tolong-menolong, mendidik anak, berkreasi, berinovasi. Dengan demikian keluarga amat berfungsi dalam mendukung terciptanya kehidupan yang beradab. Keluarga diharapkan dapat memainkan peranannya dalam membina masa depan anak-anaknya secara berkualitas dan berdaya guna. Harta benda dan anak-anaknya yang tumbuh dalam keluarga dipandang sebagai fitrah atau ujian dari Tuhan yang harus dipertanggung jawabkan di hadapan Tuhan.
Begitu pentingnya peranan yang harus dimainkan oleh keluarga dalam mendidik, maka dalam berbagai sumber bacaan mengenai kependidikan, keluarga selalu disinggung dan diberi peran yang penting. Ki Hajar Dewantara, misalnya mengatakan bahwa alam keluarga itu buat tiap-tiap orang adalah alam pendidikan yang permulaan. Pendidikan disitu pertama kalinya bersifat pendidikan dari orang tua yang berkedudukan sebagai guru (penuntun), sebagai pengajar dan sebagai pemimpin pekerjaan (pemberi contoh). Dalam Islam, pendidikan luar sekolah selain pendidikan dalam keluarga juga pendidikan di masjid-masjid, seperti adanya pengajian dan TPA.
b. Lingkungan Pendidikan Sekolah
Sekolah sebagai tempat belajar sudah tidak dipersoalkan lagi keberadaanya. Secara historis keberadaan sekolah merupakan perkembangan dari keberadaan masjid, karena adanya di antara mata pelajaran yang untuk mempelajarinya diperlukan soal jawab, perdebatan dan pertukaran pikiran.
c. Lingkungan Masyarakat
Manusia membutuhkan masyarakat di dalam pertumbuhan dan perkembangan kemajuannya yang dapat meninggikan kualitas hidupnya. Kebutuhan manusia yang diperlukan dari masyarakat tidak hanya yang menyangkut bidang material melainkan juga bidang spiritual, termasuk ilmu pengetahuan, pengalaman, keterampilan, dan sebagainya. Dalam memenuhi kebutuhan pendidikan manusia memerlukan lingkungan sosial masyarakat.















KESIMPULAN

Dari pembahasan yang telah dipaparkan di muka, maka dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa kurikulum pendidikan, pendidik, anak didik, dan lingkungan mempunyai peranan yang sangat penting dalam proses pendidikan Islam. Semua komponen tersebut saling berkesinambungan, saling memenuhi antara fungsi yang satu dengan fungsi yang lainnya. Keoptimalan proses pendidikan Islam ditentukan oleh bagaimana pendidikan dapat mengoptimalkan peran kurikulum, pendidik, anak didik, maupun lingkungan dalam proses kegiatan pendidikan dan anatara kesemuanya tidak dapat dipisahkan perannya untuk dapat mewujudkan tujuan dari pendidikan secara menyeluruh, yaitu memanusiakan manusia.















DAFTAR PUSTAKA
Basri, Hasan. 2009. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Jalaluddin & Said, Usman. 1999. Filsafat Pendidikan Islam: Konsep dan Perkembanagn Pemikirannya. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Nata, Abuddin. 1997. Filsafat Pendidikan Islam 1. Ciputat: Logos Wacana Ilmu.
Poerwadarminta, W. J. S. 1991. Kamus Umum Bahasa Indosesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Siswoyo, Dwi, dkk. 2007. Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press.

Pendidikan Multikultural

Abstrak
Indonesia, sebagaimana negara berkembang lainnya memiliki permasalahan sosial yang tidak sederhana. Namun, penting untuk dipertanyakan mengapa Indonesia lebih tertinggal dari Malaysia atau Singapura, padahal Indonesia lebih awal merdeka. Padahal konon Indonesia memiliki potensi sumber daya alam yang sangat baik. Tetapi mengapa kualitas sumber daya manusia Indonesia saat ini hanya berada pada peringkat ke-109 dari 174 negara di dunia. Bahkan yang paling mengerikan, Indonesia mengalami krisis yang berkepanjangan.
Krisis ekonomi yang dikuti dengan berbagai krisis lainnya, menyadarkan kita akan pentingnya modal sosial. Modal sosial merupakan energi kolektif masyarakat yang berupa kebersamaan, solidaritas, kerjasama, tolerasi, kepercayaan, dan tanggung jawab tiap anggota masyarakat dalam memainkan setiap peran yang diamanahkan. Bila energi kolektif hancur maka hancur pulalah keharmonisan, keseimbangan, keserasian, dan keselarasan dalam masyarakat.
Perkembangan masyarakat yang sangat dinamis serta masalah-masalah sosial yang dewasa ini terus berkembang membutuhkan perhatian dan kepekaan dari seluruh elemen bangsa tidak hanya dari para pakar dan pemerhati masalah sosial namun juga dunia pendidikan yang punya peran sangat strategis sebagai wahana dan “agent of change” bagi masyarakat. Kondisi masyarakat Indonesia yang sangat plural baik dari aspek suku, ras, agama serta status sosial memberikan kontribusi yang luar biasa terhadap perkembangan dan dinamika dalam masyarakat. Untuk itu dipandang sangat penting memberikan porsi pendidikan multikultural dalam sistem pendidikan di Indonesia baik melalui substansi maupun model pembelajaran. Hal ini dipandang penting untuk memberikan pembekalan dan membantu perkembangan wawasan pemikiran dan kepribadian serta melatih kepekaan peserta didik dalam menghadapi gejala-gejala dan masalah-masalah sosial sosial yang terjadi pada lingkungan masyarakatnya.
Kata Kunci: Pendidikan, Multikultural, Masalah sosial.
1. Pendahuluan
Perkembangan pembangunan nasional dalam era industrialisasi di Indonesia telah memunculkan side effect yang tidak dapat terhindarkan dalam masyarakat. Konglomerasi dan kapitalisasi dalam kenyataannya telah menumbuhkan bibit-bibit masalah yang ada dalam masyarakat seperti ketimpangan antara yang kaya dan yang miskin, masalah pemilik modal dan pekerja, kemiskinan, perebutan sumber daya alam dan sebagainya. Di tambah lagi kondisi masyarakat Indonesia yang plural baik dari suku, agama, ras dan geografis memberikan kontribusi terhadap masalah-masalah sosial seperti ketimpangan sosial, konflik antar golongan, antar suku dan sebagainya.
Kondisi masyarakat Indonesia yang sangat plural baik dari aspek suku, ras, agama serta status sosial memberikan kontribusi yang luar biasa terhadap perkembangan dan dinamika dalam masyarakat. Kondisi yang demikian memungkinkan terjadinya benturan antar budaya, antar ras, etnik, agama dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Kasus Ambon, Sampit, konflik antara FPI dan kelompok Achmadiyah, dan sebagainya telah menyadarkan kepada kita bahwa kalau hal ini terus dibiarkan maka sangat memungkinkan untuk terciptanya disintegrasi bangsa,
Untuk itu dipandang sangat penting memberikan porsi pendidikan multikultural sebagai wacana baru dalam sistem pendidikan di Indonesia terutama agar peserta didik memiliki kepekaan dalam menghadapi gejala-gejala dan masalah-masalah sosial yang berakar pada perbedaan kerena suku, ras, agama dan tata nilai yang terjadi pada lingkungan masyarakatnya. Hal ini dapat diimplementasi baik pada substansi maupun model pembelajaran yang mengakui dan menghormati keanekaragaman budaya.
2. Perspektif Tentang Pendidikan Multikultural
Pendidikan Multibudaya dalam Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial (Kuper, 2000) dimulai sebagai gerakan reformasi pendidikan di AS selama perjuangan hak-hak kaum sipil Amerika keturunan Afrika pada tahun 1960-an dan 1970-an. Perubahan kemasyarakatan yang mendasar seperti integrasi sekolah-sekolah negeri dan peningkatan populasi imigran telah memberikan dampak yang besar atas lembaga-lembaga pendidikan. Pada saat para pendidik berjuang untuk menjelaskan tingkat kegagalan dan putus sekolah murid-murid dari etnis marginal, beberapa orang berpendapat bahwa murid-murid tersebut tidak memiliki pengetahuan budaya yang memadai untuk mencapai keberhasilan akademik.
Banks (1993) telah mendiskripsikan evolusi pendidikan multibudaya dalam empat fase. Yang pertama, ada upaya untuk mempersatukan kajian-kajian etnis pada setiap kurikulum. Kedua, hal ini diikuti oleh pendidikan multietnis sebagai usaha untuk menerapkan persamaan pendidikan melalui reformasi keseluruhan sistem pendidikan. Yang ketiga, kelompok-kelompok marginal yang lain, seperti perempuan, orang cacat, homo dan lesbian, mulai menuntut perubahan-perubahan mendasar dalam lembaga pendidikan. Fase keempat perkembangan teori, triset dan praktek, perhatian pada hubungan antar-ras, kelamin, dan kelas telah menghasilkan tujuan bersama bagi kebanyakan ahli teoritisi, jika bukan para praktisi, dari pendidikan multibudaya. Gerakan reformasi mengupayakan transformasi proses pendidikan dan lembaga-lembaga pendidikan pada semua tingkatan sehingga semua murid, apapun ras atau etnis, kecacatan, jenis kelamin, kelas sosial dan orientasi seksualnya akan menikmati kesempatan yang sama untuk menikmati pendidikan.
Nieto (1992) menyebutkan bahwa pendidikan multibudaya bertujuan untuk sebuah pendidikan yang bersifat anti rasis; yang memperhatikan ketrampilan-ketrampilan dan pengetahuan dasar bagi warga dunia; yang penting bagi semua murid; yang menembus seluruh aspek sistem pendidikan; mengembangkan sikap, pengetahuan, dan ketrampilan yang memungkinkan murid bekerja bagi keadilan sosial; yang merupakan proses dimana pengajar dan murid bersama-sama mempelajari pentingnya variabel budaya bagi keberhasilan akademik; dan menerapkan ilmu pendidikan yang kritis yang memberi perhatian pada bangun pengetahuan sosial dan membantu murid untuk mengembangkan ketrampilan dalam membuat keputusan dan tindakan sosial.
Wacana multikulturalisme untuk konteks di Indonesia menemukan momentumnya ketika sistem nasional yang otoriter-militeristik tumbang seiring dengan jatuhnya rezim Soeharto. Saat itu, keadaan negara menjadi kacau balau dengan berbagai konflik antarsuku bangsa dan antar golongan, yang menimbulkan keterkejutan dan kengerian para anggota masyarakat. Kondisi yang demikian membuat berbagai pihak semakin mempertanyakan kembali sistem nasional seperti apa yang cocok bagi Indonesia yang sedang berubah, serta sistem apa yang bisa membuat masyarakat Indonesia bisa hidup damai dengan meminimalisir potensi konflik.
Menurut Sosiolog UI Parsudi Suparlan, Multikulturalisme adalah konsep yang mampu menjawab tantangan perubahan zaman dengan alasan multikulturalisme merupakan sebuah idiologi yang mengagungkan perbedaaan budaya, atau sebuah keyakinan yang mengakui dan mendorong terwujudnya pluralisme budaya sebagai corak kehidupan masyarakat. Multikulturalisme akan menjadi pengikat dan jembatan yang mengakomodasi perbedaan-perbedaan termasuk perbedaan kesukubangsaan dan suku bangsa dalam masyarakat yang multikultural. Perbedaan itu dapat terwadahi di tempat-tempat umum, tempat kerja dan pasar, dan sistem nasional dalam hal kesetaraan derajat secara politik, hukum, ekonomi, dan sosial.
3. Implementasi Dalam Dunia Pendidikan
Uraian sebelumnya telah mempertebal keyakinan kita betapa paradigma pendidikan multikulturalisme sangat bermanfaat untuk membangun kohesifitas, soliditas dan intimitas di antara keragamannya etnik, ras, agama, budaya dan kebutuhan di antara kita. Paparan di atas juga memberi dorongan dan spirit bagi lembaga pendidikan nasional untuk mau menanamkan sikap kepada peserta didik untuk menghargai orang, budaya, agama, dan keyakinan lain. Harapannya, dengan implementasi pendidikan yang berwawasan multikultural, akan membantu siswa mengerti, menerima dan menghargai orang lain yang berbeda suku, budaya dan nilai kepribadian. Lewat penanaman semangat multikulturalisme di sekolah-sekolah, akan menjadi medium pelatihan dan penyadaran bagi generasi muda untuk menerima perbedaan budaya, agama, ras, etnis dan kebutuhan di antara sesama dan mau hidup bersama secara damai. Agar proses ini berjalan sesuai harapan, maka seyogyanya kita mau menerima jika pendidikan multikultural disosialisasikan dan didiseminasikan melalui lembaga pendidikan, serta, jika mungkin, ditetapkan sebagai bagian dari kurikulum pendidikan di berbagai jenjang baik di lembaga pendidikan pemerintah maupun swasta. Apalagi, paradigma multikultural secara implisit juga menjadi salah satu concern dari Pasal 4 UU N0. 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional. Dalam pasal itu dijelaskan, bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis, tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa.
Pada konteks ini dapat dikatakan, tujuan utama dari pendidikan multikultural adalah untuk menanamkan sikap simpati, respek, apresiasi, dan empati terhadap penganut agama dan budaya yang berbeda. Lebih jauh lagi, penganut agama dan budaya yang berbeda dapat belajar untuk melawan atau setidaknya tidak setuju dengan ketidak-toleranan (l’intorelable) seperti inkuisisi (pengadilan negara atas sah-tidaknya teologi atau ideologi), perang agama, diskriminasi, dan hegemoni budaya di tengah kultur monolitik dan uniformitas global.
Dalam sejarahnya, pendidikan multikultural sebagai sebuah konsep atau pemikiran tidak muncul dalam ruangan kosong, namun ada interes politik, sosial, ekonomi dan intelektual yang mendorong kemunculannya. Wacana pendidikan multikultural pada awalnya sangat bias Amerika karena punya akar sejarah dengan gerakan hak asasi manusia (HAM) dari berbagai kelompok yang tertindas di negeri tersebut. Banyak lacakan sejarah atau asal-usul pendidikan multikultural yang merujuk pada gerakan sosial Orang Amerika keturunan Afrika dan kelompok kulit berwarna lain yang mengalami praktik diskrinunasi di lembaga-lembaga publik pada masa perjuangan hak asasi pada tahun 1960-an. Di antara lembaga yang secara khusus disorot karena bermusuhan dengan ide persamaan ras pada saat itu adalah lembaga pendidikan. Pada akhir 1960-an dan awal 1970-an, suara-suara yang menuntut lembaga-lembaga pendidikan agar konsisten dalam menerima dan menghargai perbedaan semakin kencang, yang dikumandangkan oleh para aktivis, para tokoh dan orang tua. Mereka menuntut adanya persamaan kesempatan di bidang pekerjaan dan pendidikan. Momentum inilah yang dianggap sebagai awal mula dari konseptualisasi pendidikan multikultural.
Tahun 1980-an agaknya yang dianggap sebagai kemunculan lembaga sekolah yang berlandaskan pendidikan multikultural yang didirikan oleh para peneliti dan aktivis pendidikan progresif. James Bank adalah salah seorang pioner dari pendidikan multikultural. Dia yang membumikan konsep pendidikan multikultural menjadi ide persamaan pendidikan. Pada pertengahan dan akhir 1980-an, muncul kelompok sarjana, di antaranya Carl Grant, Christine Sleeter, Geneva Gay dan Sonia Nieto yang memberikan wawasan lebih luas soal pendidikan multikultural, memperdalam kerangka kerja yang membumikan ide persamaan pendidikan dan menghubungkannya dengan transformasi dan perubahan sosial.
Didorong oleh tuntutan warga Amerika keturunan Afrika, Latin/Hispanic, warga pribumi dan kelompok marjinal lain terhadap persamaan kesempatan pendidikan serta didorong oleh usaha komunitas pendidikan profesional untuk memberikan solusi terhadap masalah pertentangan ras dan rendahnya prestasi kaum minoritas di sekolah menjadikan pendidikan multikultural sebagai slogan yang sangat populer pada tahun 1990-an. Selama dua dekade konsep pendidikan multikultural menjadi slogan yang sangat populer di sekolah-sekolah AS. Secara umum, konsep ini diterima sebagai strategi penting dalam mengembangkan toleransi dan sensitivitas terhadap sejarah dan budaya dari kelompok etnis yang beraneka macam di negara ini.
Ide pendidikan multikulturalisme akhirnya menjadi komitmen global sebagaimana direkomendasi UNESCO pada bulan Oktober 1994 di Jenewa. Rekomendasi itu di antaranya memuat empat pesan. Pertama, pendidikan hendaknya mengembangkan kemampuan untuk mengakui dan menerima nilai-nilai yang ada dalam kebhinnekaan pribadi, jenis kelamin, masyarakat dan budaya serta mengembangkan kemampuan untuk berkomunikasi, berbagi dan bekerja sama dengan yang lain. Kedua, pendidikan hendaknya meneguhkan jati diri dan mendorong konvergensi gagasan dan penyelesaian-penyelesaian yang memperkokoh perdamaian, persaudaraan dan solidaritas antara pribadi dan masyarakat. Ketiga, pendidikan hendaknya meningkatkan kemampuan menyelesaikan konflik secara damai dan tanpa kekerasan. Karena itu, pendidikan hendaknya juga meningkatkan pengembangan kedamaian dalam diri diri pikiran peserta didik sehingga dengan demikian mereka mampu membangun secara lebih kokoh kualitas toleransi, kesabaran, kemauan untuk berbagi dan memelihara.
Konsep pendidikan multikultural dalam perjalanannya menyebar luas ke kawasan di luar AS, khususnya di negara-negara yang memiliki keragaman etnis, ras, agama dan budaya seperti Indonesia. Sekarang ini, pendidikan multikultural secara umum mencakup ide pluralisme budaya. Tema umum yang dibahas meliputi pemahaman budaya, penghargaan budaya dari kelompok yang beragam dan persiapan untuk hidup dalam masyarakat pluralistik.
Pada konteks Indonesia, perbincangan tentang konsep pendidikan multikultural semakin memperoleh momentum pasca runtuhnya rezim otoriter-militeristik Orde Baru karena hempasan badai reformasi. Era reformasi ternyata tidak hanya membawa berkah bagi bangsa kita namun juga memberi peluang meningkatnya kecenderungan primordialisme. Untuk itu, dirasakan kita perlu menerapkan paradigma pendidikan multikultur untuk menangkal semangat primordialisme tersebut.
Secara generik, pendidikan multikultural memang sebuah konsep yang dibuat dengan tujuan untuk menciptakan persamaan peluang pendidikan bagi semua siswa yang berbeda-beda ras, etnis, kelas sosial dan kelompok budaya. Salah satu tujuan penting dari konsep pendidikan multikultural adalah untuk membantu semua siswa agar memperoleh pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang diperlukan dalam menjalankan peran-peran seefektif mungkin pada masyarakat demokrasi-pluralistik serta diperlukan untuk berinteraksi, negosiasi, dan komunikasi dengan warga dari kelompok beragam agar tercipta sebuah tatanan masyarakat bermoral yang berjalan untuk kebaikan bersama.
Dalam implementasinya, paradigma pendidikan multikultural dituntut untuk berpegang pada prinsip-prinsip berikut ini:
• Pendidikan multikultural harus menawarkan beragam kurikulum yang merepresentasikan pandangan dan perspektif banyak orang.
• Pendidikan multikultural harus didasarkan pada asumsi bahwa tidak ada penafsiran tunggal terhadap kebenaran sejarah.
• Kurikulum dicapai sesuai dengan penekanan analisis komparatif dengan sudut pandang kebudayaan yang berbeda-beda.
• Pendidikan multikultural harus mendukung prinsip-prinisip pokok dalam memberantas pandangan klise tentang ras, budaya dan agama.
Pendidikan multikultural mencerminkan keseimbangan antara pemahaman persamaan dan perbedaan budaya mendorong individu untuk mempertahankan dan memperluas wawasan budaya dan kebudayaan mereka sendiri.
Beberapa aspek yang menjadi kunci dalam melaksanakan pendidikan multikultural dalam struktur sekolah adalah tidak adanya kebijakan yang menghambat toleransi, termasuk tidak adanya penghinaan terhadap ras, etnis dan jenis kelamin. Juga, harus menumbuhkan kepekaan terhadap perbedaan budaya, di antaranya mencakup pakaian, musik dan makanan kesukaan. Selain itu, juga memberikan kebebasan bagi anak dalam merayakan hari-hari besar umat beragama serta memperkokoh sikap anak agar merasa butuh terlibat dalam pengambilan keputusan secara demokratis.
4. Penutup
Pendidikan multikultural sebagai wacana baru di Indonesia dapat diimplementasikan tidak hanya melalui pendidikan formal namun juga dapat dimplementasikan dalam kehidupan masyarakat maupun dalam keluarga. Dalam pendidikan formal pendidikan multikultural ini dapat diintegrasikan dalam sistem pendidikan melalui kurikulum mulai Pendidikan Usia Dini, SD, SLTP, SMU maupun Perguruan Tinggi. Sebagai wacana baru, Pendidikan Multikultural ini tidak harus dirancang khusus sebagai muatan substansi tersendiri, namun dapat diintegrasikan dalam kurikulum yang sudah ada tentu saja melalui bahan ajar atau model pembelajaran yang paling memungkinkan diterapkannya pendidikan multikultural ini. Di Perguruan Tinggi misalnya, dari segi substansi, pendidikan multikultural ini dapat dinitegrasikan dalam kurikulum yang berperspektif multikultural, misalnya melalui mata kuliah umum seperti Kewarganegaraan, ISBD, Agama dan Bahasa. Demikian juga pada tingkat sekolah Usia Dini dapat diintegrasikan dalam kurikulum pendidikan misalnya dalam Out Bond Program, dan pada tingkat SD, SLTP maupun Sekolah menengah pendidikan multikultural ini dapat diintegrasikan dalam bahan ajar seperti PPKn, Agama, Sosiologi dan Antropologi, dan dapat melalui model pembelajaran yang lain seperti melalui kelompok diskusi, kegiatan ekstrakurikuler dan sebagainya.
Dalam Pendidikan non formal wacana ini dapat disosialisasikan melalui pelatihan-pelatihan dengan model pembelajaran yang responsive multikultural dengan mengedepankan penghormatan terhadap perbedaan baik ras suku, maupun agama antar anggota masyarakat.
Tak kalah penting wacana pendidikan multikultural ini dapat diimplementasikan dalam lingkup keluarga. Di mana keluarga sebagai institusi sosial terkecil dalam masyarakat, merupakan media pembelajaran yang paling efektif dalam proses internalisasi dan transformasi nilai, serta sosialisasi terhadap anggota keluarga. Peran orangtua dalam menanamkan nilai-nilai yang lebih responsive multikultural dengan mengedepankan penghormatan dan pengakuan terhadap perbedaan yang ada di sekitar lingkungannya (agama, ras, golongan) terhadap anak atau anggota keluarga yang lain merupakan cara yang paling efektif dan elegan untuk mendukung terciptanya sistem sosial yang lebih berkeadilan.

Rabu, 26 Oktober 2011

a: materi cetakRheea-Mc-Hann

www.facebook.com
www.twitter.com

materi cetak

Standar Kompetensi :
Standar Kompetensi : Memahami konsep pelepasan dan perubahan harta dan hikmahnya
Materi Pokok : Hibah, Shadaqoh dan Hadiah
Hasil Belajar : Siswa Dapat Menjelaskan hibah, shadaqoh, hadiah dan hikmahnya
Indikator Pencapaian : siswa dapat:
1. Menjelaskan tata cara hibah, shodaqoh dan hadiah
2. Menjelaskan hikmah hibah, shodaqoh dan hadiah
3. Mau melaksanakan hibah, shodaqoh dan hadiah
4. Merefleksikan hikmah hibah, shodaqoh dan hadiah dalam kehidupan

HIBAH, SHADAQAH DAN HADIAH
A. Pendahuluan
Islam adalah agama yang diridhoi oleh Allah SWT dan sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta melalui nabi Muhammad SAW. Semasa hidup, beliau selalu berbuat baik dengan amalan sholeh seperti zakat, pemberian hadiah, hibah dan lain sebagainya. Zakat adalah sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan karena bagian dari rukun Islam, demikian pula shodaqoh karena islam menganjurkan untuk bershodaqoh dengan tujuan menolong saudara muslim yang sedang kesusahan dan untuk mendapat ridho Allah SWT. Shodaqoh bisa berupa uang, makanan, pakaian dan benda-benda lain yang bermanfaat.
Dalam pengertian luas, shodaqoh bisa berbentuk sumbangan pemikiran, pengorbanan tenaga dan jasa lainnya bahkan senyuman sekalipun. Beberapa hal diatas adalah bagian dari tolong menolong dalam kebaikan yang diperintahkan agama islam seperti pemberian hadiah, hibah dan shodaqoh. Maka pada materi yang singkat ini akan menguraikan hal tersebut seberapa penting dalam dunia pendidikan Islam.



B. HIBAH
1. Pengertian dan Hukum Hibah
Hibah adalah akad pemberian harta milik seseorang kepada orang lain diwaktu ia hidup
tanpa adanya imbalan sebagai tanda kasih sayang. Firman Allah SWT.:


“Dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang
miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta dan (memerdekakan) hamba sahaya” (QS.AlBaqarah:177). Memberikan Sesutu kepada orang lain, asal barang atau harta itu halal termasuk perbuatan terpuji dan mendapat pahala dari Allah SWT. Untuk itu hibah hukumnya mubah. Sabda Nabi SAW. :

“Dari Khalid bin Adi, sesungguhnya Nabi Muhammad SAW. telah bersabda, : “Barang siapa yang diberi oleh saudaranya kebaikan dengan tidak berlebih-lebihan dan tidak ia minta, hendaklah diterima (jangan ditolak). Sesungguhnya yang demikian itu pemberian yangdiberikan Allah kepadanya” (HR. Ahmad).

2. Rukun dan Syarat Hibah
a. Pemberi Hibah (Wahib) Syarat-syarat pemberi hibah (wahib) adalah sudah baligh, dilakukan atas dasar kemauan sendiri, dibenarkan melakukan tindakan hukum dan orang yang berhak memiliki barang.
b. Penerima Hibah (Mauhub Lahu) Syarat-syarat penerima hibah (mauhub lahu), diantaranya: Hendaknya penerima hibah itu terbukti adanya pada waktu dilakukan hibah. Apabila tidak ada secara nyata atau hanya ada atas dasar perkiraan, seperti janin yang masih dalam kandungan ibunya maka ia tidak sah dilakukan hibah kepadanya.
c. Barang yang dihibahkan (Mauhub) Syarat-syarat barang yang dihibahkan (Mauhub), diantaranya : jelas terlihat wujudnya, barang yang dihibahkan memiliki nilai atau harga, betul-betul milik pemberi hibah dan dapat dipindahkan status kepemilikannya dari tangan pemberi hibah kepada penerima hibah.
d. Akad (Ijab dan Qabul), misalnya si penerima menyatakan “saya hibahkan atau kuberikan tanah ini kepadamu”, si penerima menjawab, “ya saya terima pemberian saudara”.

3. Macam-macam Hibah
Hibah dapat digolongkan menjadi dua macam yaitu:
a. Hibah barang adalah memberikan harta atau barang kepada pihak lain yang mencakup materi dan nilai manfaat harta atau barang tersebut, yang pemberiannya tanpa ada tendensi (harapan) apapun. Misalnya menghibahkan rumah, sepeda motor, bajudansebagainya.
b. Hibah manfaat, yaitu memberikan harta kepada pihak lain agar dimanfaatkan harta atau barang yang dihibahkan itu, namun materi harta atau barang itu tetap menjadi milik pemberi hibah. Dengan kata lain, dalam hibah manfaat itu si penerima hibah hanya memiliki hak guna atau hak pakai saja. Hibah manfaat terdiri dari hibah berwaktu (hibah muajjalah) dan hibah seumur hidup (al-amri). Hibah muajjalah dapat juga dikategorikan pinjaman (ariyah) karena setelah lewat jangka waktu tertentu, barang yang dihibahkan manfaatnya harus dikembalikan.
4. Mencabut Hibah
Jumhur ulama berpendapat bahwa mencabut hibah itu hukumnya haram, kecualii hibah
a. orang tua terhadap anaknya, sesuai dengan sabda Rasulullah SAW. :
“Tidak halal seorang muslim memberikan suatu barang kemudian ia tarik kembali, kecuali seorang bapak kepada anaknya” (HR. Abu Dawud).
Sabda Rasulullah SAW.:
“Orang yang menarik kembali hibahnya sebagaimana anjing yang muntah lalu dimakannya kembali muntahnya itu” (HR. Bukhari Muslim).
Hibah yang dapat dicabut, diantaranya sebagai berikut :
1) Hibahnya orang tua (bapak) terhadap anaknya, karena bapak melihat bahwa mencabut itu demi menjaga kemaslahatan anaknya.
2) Bila dirasakan ada unsur ketidak adilan diantara anak-anaknya, yang menerima hibah..
3) Apabila dengan adanya hibah itu ada kemungkinan menimbulkan iri hati dan fitnah dari pihak lain.
5. Beberapa Masalah Mengenai Hibah
Pemberian Orang Sakit yang Hampir Meninggal Hukumnya adalah seperti wasiat, yaitu penerima harus bukan ahli warisnya dan jumlahnya tidak lebih dari sepertiga harta. Jika penerima itu ahli waris maka hibah itu tidak sah. Jika hibah itu jumlahnya lebih dari sepertiga harta maka yang dapat diberikan kepada penerima hibah (harus bukan ahli waris) hanya sepertiga harta.
Penguasaan Orang Tua atas Hibah Anaknya Jumhur ulama berpendapat bahwa seorang bapak boleh menguasai barang yang dihibahkan kepada anaknya yang masih kecil dan dalam perwaliannya atau kepada anak yang sudah dewasa, tetapi lemah akalnya. Pendapat ini didasarkan pada kebolehan meminta kembali hibah seseorang kepada anaknya.
6. Hikmah Hibah
Adapun hikmah hibah adalah :
1. Menumbuhkan rasa kasih sayang kepada sesama
2. Menumbuhkan sikap saling tolong menolong
3. Dapat mempererat tali silaturahmi
4. Menghindarkan diri dari berbagai malapetaka.

C. SHADAQAH DAN HADIAH
1. Pengertian dan Dasar Hukum Shadaqah dan Hadiah
Shadaqah adalah akad pemberian harta milik seseorang kepada orang lain tanpa adanya imbalan dengan harapan mendapat ridla Allah SWT. Sementara hadiah adalah akad pemberian harta milik seseorang kepada orang lain tanpa adanya imbalan sebagai penghormatan atas suatu prestasi. Shadaqah itu tidak hanya dalam bentuk materi, tetapi juga dalam bentuk tindakan seperti senyum kepada orang lain termasuk shadaqah. Hal ini sesuaidenganSabdaRasulullahSAW. :
تَبَسُّمُكَ فِىوَجْهِ أَخِيْكَ لَكَ صَدَقَةٌ
“Tersenyum dihadapan temanmu itu adalah bagian dari shadaqah” (HR. Bukhari).
Hukum hadiah-menghadiahkan dari orang Islam kepada orang diluar Islam atau sebaliknya adalah boleh karena persoalan ini termasuk sesuatu yang berhubungan dengan sesame manusia (hablumminannaas).

2. Hukum Shadaqah dan Hadiah
Hukum shadaqah adalah sunah, Hukum hadiah adalah mubah artinya boleh saja dilakukan dan boleh ditinggalkan. Sabda Rasulullah SAW.:
“Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW telah bersabda sekiranya saya diundang untuk makan sepotong kaki binatang, undangan itu pasti saya kabulkan, begitu juga kalau potongan kaki binatang dihadiahkan kepada saya tentu saya terima” (HR. Bukhari).

3. Perbedaan antara Shadaqah dan Hadiah
a. Shadaqah ditujukan kepada orang terlantar, sedangkan hadiah ditujukan kepada orang yangberprestasi.
b. Shadaqah untuk membantu orang-orang terlantar memenuhi kebutuhan pokoknya, sedangkan hadiah adalah sebagai kenang-kenangan dan penghargaan kepada orang yang dihormati.
c. Shadaqah adalah wajib dikeluarkan jika keadaan menghendaki sedangkan hadiah hukumnya mubah (boleh).
4. Syarat-syarat Shadaqah dan Hadiah
a. Orang yang memberikan shadaqah atau hadiah itu sehat akalnya dan tidak dibawah perwalian orang lain. Hadiah orang gila, anak-anak dan orang yang kurang sehat jiwanya (seperti pemboros) tidak sah shadaqah dan hadiahnya.
b. Penerima haruslah orang yang benar-benar memerlukan karena keadaannya yang terlantar.
c. Penerima shadaqah atau hadiah haruslah orang yang berhak memiliki, jadi shadaqah atau hadiah kepada anak yang masih dalam kandungan tidak sah.
d. Barang yang dishadaqahkan atau dihadiahkan harus bermanfaat bagi penerimanya.

5. Rukun Shadaqah dan Hadiah
a. Pemberi shadaqah atau hadiah.
b. Penerima shadaqah atau hadiah.
c. Ijab dan Qabul artinya pemberi menyatakan memberikan, penerima menyatakan suka.
d. Barang atau Benda (yang dishadaqahkan/dihadiahkan).

6. Hikmah Shadaqah dan Hadiah
Hikmah Shadaqah:
a. Menumbuhkan ukhuwah Islamiyah
b. Dapat menghindarkan dari berbagai bencana
c. Akan dicintai Allah SWT.
Hikmah Hadiah
1) Menjadi unsur bagi suburnya kasih saying
2) Menghilangkan tipu daya dan sifat kedengkian.
Sabda Nabi Muhammad SAW.:“Saling hadiah-menghadiahkan kamu, karena dapat menghilangkan tipu daya dan kedengkian” (HR. Abu Ya’la).

D. RANGKUMAN
1. Shodaqoh adalah setiap kebaikan yang diberikan kepada orang lain, baik berbentuk materi maupun moril.
2. Shadaqoh adalah perbuatan mulia yang sangat dianjurkan oleh Allah SWT, sehingga selain akan memperoleh pahala yang banyak juga dapat mencegah bencana dan memadamkan amarah Allah SWT.
3. Hibah adalah pemberian barang atau manfaat dari seseorang kepada orang lain tanpa sebab dan tidak mengharapkan sesuatu kecuali ridho Allah.
4. Barang yang sudah dihibahkan kepada orang lain tidak boleh diambil kembali, kecuali hibah orang tua kepada anaknya jika menimbulkan madharat atau fitnah di kemudian hari.
5. Hadiah adalah akad pemberian harta milik seseorang kepada orang lain tanpa adanya imbalan sebagai penghormatan atas suatu prestasi.

EVALUASI
A. Berilah tanda silang (x) pada salah satu a, b, c atau d sebagai jawaban yang anda anggap benar!
1. Menurut hadits dibawah ini, bahwa shodaqoh selain dapat memadamkan amarah Tuhan, juga…..
a. Menolak bencana kejelekan
b. Mencegah kejahatan manusia
c. Menolak kematian yang buruk
d. Mencegah daripada siksa neraka
2. Dalam masalah wakaf ada nadzir. Nadzir adalah….
a. Pihak yang diserahi tugas pemeliharaan dan pengurusan benda wakaf
b. Pihak yang memberikan wakaf
c. Badan/organisasi yang diberi wakaf
d. Saksi dalam penyerahan wakaf
3. Menurut hadits Nabi SAW orang menarik kembali apa yang telah dihibahkan adalah laksana…….
a. Orang yang menelan kembali ludahnya
b. Anjing yang muntah lalu memakan kembali muntahnya
c. Memakan daging bangkai saudaranya
d. Kucing yang memakan bangkai tikus
4. Dibawah ini merupakan hikmah hibah, kecuali….
a. Menumbuhkan rasa kasih sayang kepada sesame
b. Menumbuhkan sikap saling tolong menolong
c. Dapat mempererat tali silaturahmi
d. Menghindarkan diri dari berbagai malapetaka
5. Yang dimaksud hibah manfaat adalah…
a. Memberikan suatu benda untuk dimanfaatkan
b. Memberikan ilmu yang bermanfaat
c. Menghibahkan benda untuk jangka waktu yang ditentukan
d. Menghibahkan manfaat benda, tapi pemiliknya tetap pada si pemberi.
6. Orang yang hampir meninggal ( maridil maut) lalu memberikan hibah kepada ahli warisnya, maka status hukum hibah tersebut adalah….
a. Haram
b. Makruh
c. Sunnah
d. Boleh
7. Shadaqoh pengertiannya sangat luas. Sehingga setiap kebaikan yang kita berikan pada orang lain adalah shadaqoh. Ada tiga perbuatan yang termasuk shadaqoh, kecuali….
a. Menyingkirkan batu di jalan
b. Manyingkirkan paku di jalan
c. Menyingkirkan tulang di jalan
d. Menyingkirkan duri di jalan
8. Menghibahkan harta itu harus adil, tetapi apabila mau melebihkan antara satu dengan lainnya maka lebihkanlah kepada…..
a. Anak perempuan
b. Anak laki-laki
c. Saudara
d. Orang yang paling berjasa
9. Pemberian atau pengalihan hak pribadi untuk kepentingan umum dalam bentuk benda atau harta disebut….
a. Shadaqoh
b. Hadiah
c. Wakaf
d. Hibah
10. Orang yang boleh menarik kembali hibahnya yang sudah diberikan kepada orang lain adalah….
a. Hibah anak kepada orang tuanya
b. Hibah orang tua kepada anaknya
c. Hibah tuan kepada budaknya
d. Hibah seseorang kepada yatim piatu

B. Jawabanlah soal-soal di bawah ini dengan tepat!
C.
11. Tulislah pengartian shadaqoh, hibah dan hadiah!
12. Tulislah persamaan dan perbedaan hibah dan wakaf!
13. Apa perbedaan antara shadaqoh dan suap? Jelaskan argument anda!
14. Jelaskan bagaimana caranya agar kita menjadi orang yang dermawan!
15. Dalam kaitannya dengan konsep shadaqoh, jelaskan pengertian ikhlas dan ria!

16. Menumbuhkan rasa kasih sayang kepada sesama
17. Menumbuhkan sikap saling tolong menolong
18. Dapat mempererat tali

Selasa, 25 Oktober 2011

Inilah 5 Bahasa di Dunia yang Paling Sulit Dipelajari

Mempelajari bahasa asing memang bukan hal yang mudah. Ada huruf yang berbeda, susunan kata yang tidak biasa, sampai pengucapan kata yang asing di lidah.


Menurut penelitian, seseorang paling mudah mempelajari bahasa dengan susunan kata dan pengucapan yang mirip dengan bahasa sehari-harinya. Masing-masing bahasa mempunya tingkat kesulitan yang berbeda. Berikut lima bahasa yang paling sulit dipelajari seperti dikutip dari thirdage.

1. China
Bahasa China dianggap sulit dipelajari karena sangat menekankan pada intonasi. Penekanan intonasi yang berbeda bisa membuat arti kata yang diucapkan sangat berbeda. Tak hanya itu, ribuan huruf China yang sulit dan rumit membuat bahasa yang cukup populer di dunia tersebut makin susah untuk dipelajari.

2. Arab
Untuk orang Eropa, bahasa Arab memiliki kemiripan yang sangat sedikit dengan bahasa mereka. Membaca tulisan dalam bahasa Arab juga dianggap agak sulit karena pengucapan vokal yang agak berbeda dengan bahasa Inggris. Sama seperti bahasa Cina, huruf-huruf Arab juga menjadi salah satu kesulitan jika ingin cepat mempelajari bahasa ini. Perubahan bentuk huruf dalam kalimat yang berbeda ketika suatu huruf digabungkan juga membuat belajar bahasa Arab lebih menantang.

3. Jepang
Lagi-lagi bahasa dengan huruf yang rumit masuk dalam daftar ini. Jepang, seperti sudah banyak diketahui memiliki ribuan karakter dengan sifat yang berbeda. Selain ribuan karakter, ada tiga cara penulisan dan dua jenis daftar suku kata membuat orang harus memiliki ingatan yang kuat ketika mempelajari bahasa Jepang.

4. Korea
Struktur kata, pemahaman kalimat, dan konjugasi kata kerja yang berbeda membuat bahasa Korea bukan bahasa yang mudah diserap. Selain struktur penggunaan kata, huruf-huruf Korea yang tak kalah rumit juga membuat bahasa asal bintang K-Pop tersebut sulit dipelajari dengan cepat.

5. Hungaria
Bahasa Hungaria dianggap sulit dipelajari karena tidak memiliki kemiripan atau rumpun yang sama dengan bahasa apapun. Tidak seperti bahasa Indonesia yang memiliki beberapa kemiripan dengan bahasa Malaysia, bahasa Hungaria tidak mirip dengan bahasa apapun. Karena itu seseorang harus mulai dari nol untuk mempelajarinya.

Kesulitan lain ketika mempelajari bahasa Hungaria adalah bahasa ini memiliki sifat kata untuk penyebutan feminin, maskulin, dan netral gender. Selain itu, 7 konjugasi yang berbeda juga membuat bahasa negara yang terletak di benua Eropa tersebut makin rumit untuk segera dipahami.

Senin, 24 Oktober 2011

pemikiran filsafat al-ghozali

BAB I
PENDAHULUAN
Para ahli sejarah dan sarjana telah menyaksikan bahwasanya ilmuwan-ilmuwan nuslim itu telah bersih, jernih jiwanya dan dekat kepada Allah SWT, dan hatinya suci dari pada kejahatan dan dosa, sedanng jasmani mereka kosong dari pengaruh duniawi dan kelezatannya, lalu memusatkan perhatiannya kepada ilmu, mereka ditunjuki Allah dengan cahaya-Nya kepada cahaya mereka, lallu mereka menngetahui dan menngenal, kemudian mereka memproduksi sebagian apa yang mereka ketahui dari yang dikehendaki Allah SWT
Oleh karena itu di kalangan umat islam, masalah hubungan hidup manusia dengan Tuhannya, hubungan dengan masyarakat dan alam sekitarnya telah dianallisa oleh ahlli-ahli pikir muslim, sehingga membuahkan berbagai bidang ilmu pengetahuan dan seni budaya serta norma-norma etis dibarengi dengan keterampilan mengerjakan dan mengamalkannya,
BAB II
PEMBAHASAN
A. RIWAYAT HIDUP AL-GHAZALI
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-ghazali dilahirkan di Thus, sebuah Kota di khurasan, Persia, pada tahun 450 H atau 1058 M. ayahnya seorang pemintal wool. Al-ghazali mempunyai seprang saudara, ketika akan meninggal, ayahnya berpesan kepada sahabat setianya agar keduanya putranya diasuh dan disempurnakan pendidikan keduanya. Sahabatnya segera melaksanakan wasiat ayah Al-Ghazali, kedua anak itu dididik dan disekolahkan, setelah harta pusaka peninggalan ayah mereka habis, mereka dinasehati agar meneruskan mencari ilmu semampunya.
Imam Al-Ghazali sejak kecil dikenal sebagai seorang anak pencinta ilmu pengetahuan dan penggandrung mencari kebenaran yang hakiki, sekalipun diterpa duka cita, dilanda aneka rupa nestapa dan sengsara. Di masa kanak-kanak imam al-Ghazali belajar kepada Ahmad bin Muhammad Ar-Raziqani di Thus kemudian belajar kepada Abi Nasr Al-Ismaili di Jurjani dan akhirnya ia kembali ke Thus lagi.
Setelah itu Imam Ghazali pindah ke Nisabur untuk belajar kepada seorang ahli agama kenamaan di masanya, yaitu Al-Juwaini, Imam Haramain, dari beliau ini al-Ghazali belajar ilmu kalam, ilmu ushul, dan ilmu agama lainnya. Imam Al-Ghazali memang orang yang cerdas dan sanggup mendebat segala sesuatu yang tidak sesuai dengan penalaran yang jernih , sehingga Imam Juwini memberi predikat sebagai orang yang memiliki ilmu yang sangat luas bagaikan “Laut dalam nan menenggelamkan”
Keikutsertaan Al-Ghazali dalam suatu diskusi bersama sekelompok ulama dan intelektual di hadapan Nidzam Al-Mulk membawa kemenangan baginya, Nidzam Al-mulk berjanji akan mengangkatnya sebagai guru besar di Universitas yang didirikannya di Baghdad pada tahun 484 atau 1091 M. setelah empat tahun beliau memutuskan untuk berhenti mengajar dan meninggalka Baghdad, setelah itu beliau ke Syam, hidup dalam Jami’Umawy dengan kehidupan penuh ibadah, dilanjutkan ke padang pasir untuk untuk meninggalkan kemewahan hidup dan mendalami agama.
Kemudian sewaktu-waktu beliau kembali ke Baghdad untuk kembali mengajar di sana, kitab pertama yang dikarangnya adalah Al-Munqidz min al-Dholal. Sekembalinya ke Baghdad sekitar sepuluh tahun, beliau ke Nisabur dan sibuk mengajar di sana dalam waktu yang tidak lama, setelah itu beliau meninggal di Thus, kota kelahiranyya pada tahun 505 H atau 1111 M.
B. KONSEP PENDIDIKAN AL-GHAZALI
Untuk mengetahui konsep pendidikan Al-Ghazali, dapat diketahui dengan cara memahami pemikirannya yang berkenaan dengan berbagai aspek yang berkaitan dengan pendidikan, yaitu: tujuan, kurikulum, metode, etika guru, dan etika murid.
1. Tujuan Pendidikan
Seorang guru baru dapat merumuskan suatu tujuan kegiatan, jika ia memahami benar filsafat yang mendasarinya. Rumusan selanjutnya akan menentukan aspek kurikulum, metode, guru dan lainnya. Dari hasil studi terhadap pemikiran Al-Ghazali dapat diketahui dengan jelas bahwa tujuan akhir yang ingin dicapai melaliu pendidikan ada dua, pertama: tercapainya kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah SWT, kedua, kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat. Karena itu, beliau bercita-cita mengajarkan manusia agar mereka sampai pada sasaran yang merupakan tujuan akhir dan maksud pendidikan itu. Tujuan itu tampak bernuansa religius dan moral, tanpa mengabaikan masalah duniawi.
Akan tetapi, disamping bercorak agamis yang merupakan cirri spesifik pendidikan islam, tampak pula cenderung pada sisi keruhanian. Kecenderungan tersebut sejalan dengan filsafat Al-ghazali yang bercorak tasawuf. Maka sasaran pendidikan adalah kesempurnaan insani dunia dan akhirat. Manusia akan sampai pada tingkat ini hanya dengan menguasai sifat keutamaam melalui jalur ilmu. Keutamaan itulsh yang akan membuat bahagia di dunia dan mendekatkan kepada Allah SWT sehingga bahagia di ahkirat kelak. Oleh karena itu, menguasai ilmu bagi beliautermasuk tujuan pendidikan, mengingat nilai yang dikandungnya serta kenikmatan yang diperoleh manusia padanya.
2. Kurikulum Pendidikan
Al-Ghazali membagi ilmu pengetahuan menjadi tiga bagian, yaitu:
• Ilmu yang tercela, sedikit atau banyak. Ilmu tidak ada manfaatnya baik di dunia maupun di akhirat, seperti ilmu nujum, sihir, dan ilmu perdukunan. Bila ilmu ini dipelajari akan membawa mudharat bagi yang memilikinya maupun orang lain, dan akan meragukan Allah SWT.
• Ilmu yang terpuji, sedikit atau banyak, misalnya ilmu tauhid, dan ilmu agama. Bila ilmu ini dipelajari akan membawa orang kepadajiwa yang suci bersih dari kerendahan dan keburukan serta dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT.
• Ilmu yang terpuji pada taraf tertentu, dan tidak boleh didalami, karma dapat membawa kepada goncangan iman, seperti ilmu filsafat.
Dari ketiga kelompok ilmu tersebut, Al-Ghazalimembagi lagi menjadi dua bagian dilihatdari kepentingannya, yaitu:
• Ilmu yang fardhu (wajib) untuk diketahui oleh semua orang muslim, yaitu ilmu agama.
• Ilmu yang merupakan fardhu kifayah untuk dipelajari setiap muslim, ilmu dimanfaatkan untuk memudahkan urusan duniawi, seperti : ilmu hitung, kedokteran, teknik, dan ilmu pertanian dan industri.
Dalam menyusun kurikulum pelajaran, Al-Ghazali memberi perhatian khusus pada ilmu-ilmu agama dan etika sebagaimana yang dilakukannya terhadap ilmu-ilmu yang sangat menentukan bagi kehidupan masyarakat. Kurikilum menurut Al-Ghazali didasarkan pada dua kecenderungan sebagai berikut:
• Kecenderungan agama dan tasawuf. Kecenderungan ini membuat Al-ghazali menempatkan ilmu-ilmu agama di atas segalanya dan memandangya sebagai alat untuk menyucikan diri dan membersihkannya dari pengaruh kehidupan dunia.
• Kecenderungan pragmatis. Kecenderungan ini tampak dalam karya tulisnya. Al-ghazali beberapa kali mengulangi penilaian terhadap ilmu berdasarkan manfaatnyabagi manusia, baik kehidupan di dunia, maupun untuk kehidupan akhirat, ia menjelaskan bahwa ilmu yang tidak bermanfaat bagi manusia merupakan ilmu tang tak bernilai. Bagi al-Ghazali, setiap ilmu harus dilihat dari fungsi dan kegunaannya dalam bentuk amaliyah.
3. Metode Pengajaran
Perhatian Al-Ghazali akan pendidikan agama dan moral sejalan dengan kecenderungan pendidikannya secara umum, yaitu prinsip-prinsip yang berkaitan secara khusus dengan sifat yang harus dimilikioleh seorang guru dalam melaksanakan tugasnya.
Tentang pentingnya keteladanan utama dari seorang guru, juga dikaitkan dengan pandangannya tentang pekerjaan mengajar. Menurutnya mengajar adalah pekerjaan yang paling mulia sekaligus yang paling agung .pendapatnya ini, ia kuatkan dengan beberapa ayat Al-quran dan hadits Nabi yang mengatakan status guru sejajar dengan tugas kenabian. Lebih lanjut Al-Ghazali mengatakan bahwa wujud termulia di muka bumi adalah manusia, dan bagian inti manusia yang termulia adalah hatinya. Guru bertugas menyempurnakan, menghias, dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Bahkan, kaum muslimin pada zaman dahulu amat mementingkan menuntut ilmu yang langsung diterima dari mulut seorang guru. Mereka tidak suka menuntut ilmu dati buku-buku dan kitab-kitab saja, sebagian mereka berkata “ Diantara malapetaka yang besar yaitu berguru pada buku, maksudnya belajar dengan membaca buku tanpa guru”, dalam sebuah kitab dikatakan “Barang siapa yang tiada berguru, maka syetanlah imammya”.
Dalam masalah pendidikan, Al-Ghazali lebih cenderung berfaham empirisme, oleh karena itu, beliau sangat menekankan pengaruh pendidikan terhadap anak didik. Anak adalah amanat yang dipercayakan kepada orang tuanya, hatinya bersih, murni, laksana permata yang berharga, sederhana, dan bersih dari ukiran apapun. Ia dapat menerima tiap ukiran yang digoreskan kepadanya dan akan denderung ke arah yang kita kehendaki. Oleh karna itu, bila ia dibiasakan dengan sifat-sifat yang baik, maka akan berkembanglah sifat-sifat yang baik pula. Sesuai dengan hadits Rasulullah SAW :
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan bersih, kedua orang tuanyalah yang menyebabkan anak itu menjadi penganut Yahudi, Nasrani, dan Majusi.”( HR. Muslim)
4. Kriteria Guru Yang Baik
Menurut Al-Ghazali, bahwa guru yang dapat diserahi tugas mengajar adalah selain guru yang cerdas dan sempurna akalnya, juga guru yang baik akhlaknya dan kuat fisiknya. Dengan kesempurnaanakal ia dapat memiliki berbagai ilmu pengetahuan secara mendalam, dan dengan akhlaknya guru dapat menjadi contoh dan teladan bagi para muridnya, dan dengan kuat fisiknya guru dapat melaksanakan tugasnya mengajar, mendidik dan mengarahkan anak-anak muridnya.
Selain sifat-sifat umum di atas, seorang guru juga memiliki sifat-sifat khusus sebagai berikut:
• Mencintai murid seperti mencintai anaknya sendiri.
• Jangan mengharapkan materi sebagai tujuan utama karena mengajar adalah tugas yang diwariskan Rasulullah SAW.
• Mengingatkan murid bahwa tujuan menuntut ilmu adalah mendekatkan diri kepada Allah SWT.
• Guru harus mendorong muridnyauntuk mencari ilmu yang bermanfaat.
• Guru harus memberikan tauladan yang baik di mata muridnya sehingga murid senang mencontoh tingkah lakunya.
• Guru harus mengajarkan pelajaran sesuaitingkat kemampuan akal anak didik.
• Guru harus mengamalkan ilmunya.
• Guru harus bias mengetahui jiwa anak didiknya.
• Guru dapat mendidik keimanan ke dalampribadi anak didiknya.
5. Sifat Murid Yang Baik
Sejalan dengan tujuan pendidikan sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT, maka belajar termasuk ibadah. Dengandasar pemikiran ini, maka seorang murid yang baik memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
• Seorang murid harus memulyakan guru dan bersikap rendah hati
• Harus saling menyayangi dan tolong-menolong sesama teman
• Mempelajari bermacam-macam ilmu dari tiap-tiap ilmu tersebut
• Seorang murid harus berjiwa bersih, terhindar dari perbuatan hina dan tercela
• Seorang murid hendaknya mendahulukan mempelajari yang wajib
• Seorang murid hendaknya mempelajari ilmu secara bertahap
• Seorang murid hendaknya mengetahui nilai setiap ilmu yang dipelajarinya.
6. Ganjaran dan Hukuman
Selanjutnya Al-Ghazali berkata:Apabila anak-anak itu berkelakuan baik dan melakukan pekerjaan yang bagus, hormatilah ia dan hendaknya diberi penghargaan dengan sesuatu yang menggembirakannya, serta dipuji di hadapan orang banyak. Jika ia melakukan kesalahan satu kali, hendaknya pendidikmembiarkan dan jangan dibuka rahasianya. Jika anak itu mengulanginya lagi, hendaknya pendidik memarahinya dengan tersembunyi, bukan dinasehati di depan orang banyak, dan janganlah pendidik seringkali memarahi anak-anak itu, karena hal itu dapat menghilangkan pengaruh pada diri anak, sebab sudah terbiasa telinganya mendengarkan amarah itu.
Metode pemberian hadiah dan hukuman untuk tujuan mendidik dipandang sebagai metode yang aman. Terlalu banyak melarang dapat menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan. Demikian pula terlalu banyak memberikan pujian tidak menjadi penyebab terjadinya perbaikan. Dalam berbagai kesempatan Al-Gazali menerangkan bahwa membesarkan anak dengan kemanjaan, bersenang-senang dan bermalas-malasan serta meremehkan pergaulan bersama orang lain termasuk perkara yang tidak baik karena membesarkan anak dengan cara seperti ini akan merusak akhlaknya .
C. KARYA-KARYA AL-GHAZALI
 Di Bidang filsafat
- Maqasid al-Falasifah
- Tafahut al-Falasifah
- Al-Ma’rif al-‘aqliyah
 Di Bidang Agama
- Ihya ‘Ulumuddin
- Al-Munqiz minal dhalal
- Minhaj al-Abidin
 Di Bidang Akhlak Tasawuf
- Mizan al-Amal
- Kitab al-Arbain
- Mishkatul anwar
- Al-Adab fi Dien
- Ar-Risalah al-laduniyah
 Di Bidang Kenegaraan
- Mustaz hiri
- sirr al-Alamin
- Nasihat al-Muluk
- Suluk al-Sulthanah
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-ghazali dilahirkan di Thus, sebuah Kota di khurasan, Persia, pada tahun 450 H atau 1058 M. ayahnya seorang pemintal wool. Al-ghazali mempunyai seprang saudara, ketika akan meninggal, ayahnya berpesan kepada sahabat setianya agar keduanya putranya diasuh dan disempurnakan pendidikan keduanya
Untuk mengetahui konsep pendidikan Al-Ghazali, dapat diketahui dengan cara memahami pemikirannya yang berkenaan dengan berbagai aspek yang berkaitan dengan pendidikan, yaitu: tujuan, kurikulum, metode, etika guru, dan etika murid.
1.Tujuan Pendidikan
Seorang guru baru dapat merumuskan suatu tujuan kegiatan, jika ia memahami benar filsafat yang mendasarinya. Rumusan selanjutnya akan menentukan aspek kurikulum, metode, guru dan lainnya.
2.Kurikulum Pendidikan
Al-Ghazali membagi ilmu pengetahuan menjadi tiga bagian, yaitu
 Ilmu yang tercela,
 Ilmu yang terpuji
 Ilmu yang terpuji pada taraf tertentu
3. Metode Pengajaran
Dalam masalah pendidikan, Al-Ghazali lebih cenderung berfaham empirisme, oleh karena itu, beliau sangat menekankan pengaruh pendidikan terhadap anak didik. Anak adalah amanat yang dipercayakan kepada orang tuanya, hatinya bersih, murni, laksana permata yang berharga, sederhana, dan bersih dari ukiran apapun.
4. Kriteria Guru Yang Baik
Menurut Al-Ghazali, bahwa guru yang dapat diserahi tugas mengajar adalah selain guru yang cerdas dan sempurna akalnya, juga guru yang baik akhlaknya dan kuat fisiknya.
5. Sifat Murid Yang Baik
Seorang murid harus memulyakan guru dan bersikap rendah hati. Harus saling menyayangi dan tolong-menolong sesama teman. Mempelajari bermacam-macam ilmu dari tiap-tiap ilmu tersebut. Seorang murid harus berjiwa bersih, terhindar dari perbuatan hina dan tercela, dll.

pemikiran filsafat al-ghozali

BAB I
PENDAHULUAN
Para ahli sejarah dan sarjana telah menyaksikan bahwasanya ilmuwan-ilmuwan nuslim itu telah bersih, jernih jiwanya dan dekat kepada Allah SWT, dan hatinya suci dari pada kejahatan dan dosa, sedanng jasmani mereka kosong dari pengaruh duniawi dan kelezatannya, lalu memusatkan perhatiannya kepada ilmu, mereka ditunjuki Allah dengan cahaya-Nya kepada cahaya mereka, lallu mereka menngetahui dan menngenal, kemudian mereka memproduksi sebagian apa yang mereka ketahui dari yang dikehendaki Allah SWT
Oleh karena itu di kalangan umat islam, masalah hubungan hidup manusia dengan Tuhannya, hubungan dengan masyarakat dan alam sekitarnya telah dianallisa oleh ahlli-ahli pikir muslim, sehingga membuahkan berbagai bidang ilmu pengetahuan dan seni budaya serta norma-norma etis dibarengi dengan keterampilan mengerjakan dan mengamalkannya,
BAB II
PEMBAHASAN
A. RIWAYAT HIDUP AL-GHAZALI
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-ghazali dilahirkan di Thus, sebuah Kota di khurasan, Persia, pada tahun 450 H atau 1058 M. ayahnya seorang pemintal wool. Al-ghazali mempunyai seprang saudara, ketika akan meninggal, ayahnya berpesan kepada sahabat setianya agar keduanya putranya diasuh dan disempurnakan pendidikan keduanya. Sahabatnya segera melaksanakan wasiat ayah Al-Ghazali, kedua anak itu dididik dan disekolahkan, setelah harta pusaka peninggalan ayah mereka habis, mereka dinasehati agar meneruskan mencari ilmu semampunya.
Imam Al-Ghazali sejak kecil dikenal sebagai seorang anak pencinta ilmu pengetahuan dan penggandrung mencari kebenaran yang hakiki, sekalipun diterpa duka cita, dilanda aneka rupa nestapa dan sengsara. Di masa kanak-kanak imam al-Ghazali belajar kepada Ahmad bin Muhammad Ar-Raziqani di Thus kemudian belajar kepada Abi Nasr Al-Ismaili di Jurjani dan akhirnya ia kembali ke Thus lagi.
Setelah itu Imam Ghazali pindah ke Nisabur untuk belajar kepada seorang ahli agama kenamaan di masanya, yaitu Al-Juwaini, Imam Haramain, dari beliau ini al-Ghazali belajar ilmu kalam, ilmu ushul, dan ilmu agama lainnya. Imam Al-Ghazali memang orang yang cerdas dan sanggup mendebat segala sesuatu yang tidak sesuai dengan penalaran yang jernih , sehingga Imam Juwini memberi predikat sebagai orang yang memiliki ilmu yang sangat luas bagaikan “Laut dalam nan menenggelamkan”
Keikutsertaan Al-Ghazali dalam suatu diskusi bersama sekelompok ulama dan intelektual di hadapan Nidzam Al-Mulk membawa kemenangan baginya, Nidzam Al-mulk berjanji akan mengangkatnya sebagai guru besar di Universitas yang didirikannya di Baghdad pada tahun 484 atau 1091 M. setelah empat tahun beliau memutuskan untuk berhenti mengajar dan meninggalka Baghdad, setelah itu beliau ke Syam, hidup dalam Jami’Umawy dengan kehidupan penuh ibadah, dilanjutkan ke padang pasir untuk untuk meninggalkan kemewahan hidup dan mendalami agama.
Kemudian sewaktu-waktu beliau kembali ke Baghdad untuk kembali mengajar di sana, kitab pertama yang dikarangnya adalah Al-Munqidz min al-Dholal. Sekembalinya ke Baghdad sekitar sepuluh tahun, beliau ke Nisabur dan sibuk mengajar di sana dalam waktu yang tidak lama, setelah itu beliau meninggal di Thus, kota kelahiranyya pada tahun 505 H atau 1111 M.
B. KONSEP PENDIDIKAN AL-GHAZALI
Untuk mengetahui konsep pendidikan Al-Ghazali, dapat diketahui dengan cara memahami pemikirannya yang berkenaan dengan berbagai aspek yang berkaitan dengan pendidikan, yaitu: tujuan, kurikulum, metode, etika guru, dan etika murid.
1. Tujuan Pendidikan
Seorang guru baru dapat merumuskan suatu tujuan kegiatan, jika ia memahami benar filsafat yang mendasarinya. Rumusan selanjutnya akan menentukan aspek kurikulum, metode, guru dan lainnya. Dari hasil studi terhadap pemikiran Al-Ghazali dapat diketahui dengan jelas bahwa tujuan akhir yang ingin dicapai melaliu pendidikan ada dua, pertama: tercapainya kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah SWT, kedua, kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat. Karena itu, beliau bercita-cita mengajarkan manusia agar mereka sampai pada sasaran yang merupakan tujuan akhir dan maksud pendidikan itu. Tujuan itu tampak bernuansa religius dan moral, tanpa mengabaikan masalah duniawi.
Akan tetapi, disamping bercorak agamis yang merupakan cirri spesifik pendidikan islam, tampak pula cenderung pada sisi keruhanian. Kecenderungan tersebut sejalan dengan filsafat Al-ghazali yang bercorak tasawuf. Maka sasaran pendidikan adalah kesempurnaan insani dunia dan akhirat. Manusia akan sampai pada tingkat ini hanya dengan menguasai sifat keutamaam melalui jalur ilmu. Keutamaan itulsh yang akan membuat bahagia di dunia dan mendekatkan kepada Allah SWT sehingga bahagia di ahkirat kelak. Oleh karena itu, menguasai ilmu bagi beliautermasuk tujuan pendidikan, mengingat nilai yang dikandungnya serta kenikmatan yang diperoleh manusia padanya.
2. Kurikulum Pendidikan
Al-Ghazali membagi ilmu pengetahuan menjadi tiga bagian, yaitu:
• Ilmu yang tercela, sedikit atau banyak. Ilmu tidak ada manfaatnya baik di dunia maupun di akhirat, seperti ilmu nujum, sihir, dan ilmu perdukunan. Bila ilmu ini dipelajari akan membawa mudharat bagi yang memilikinya maupun orang lain, dan akan meragukan Allah SWT.
• Ilmu yang terpuji, sedikit atau banyak, misalnya ilmu tauhid, dan ilmu agama. Bila ilmu ini dipelajari akan membawa orang kepadajiwa yang suci bersih dari kerendahan dan keburukan serta dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT.
• Ilmu yang terpuji pada taraf tertentu, dan tidak boleh didalami, karma dapat membawa kepada goncangan iman, seperti ilmu filsafat.
Dari ketiga kelompok ilmu tersebut, Al-Ghazalimembagi lagi menjadi dua bagian dilihatdari kepentingannya, yaitu:
• Ilmu yang fardhu (wajib) untuk diketahui oleh semua orang muslim, yaitu ilmu agama.
• Ilmu yang merupakan fardhu kifayah untuk dipelajari setiap muslim, ilmu dimanfaatkan untuk memudahkan urusan duniawi, seperti : ilmu hitung, kedokteran, teknik, dan ilmu pertanian dan industri.
Dalam menyusun kurikulum pelajaran, Al-Ghazali memberi perhatian khusus pada ilmu-ilmu agama dan etika sebagaimana yang dilakukannya terhadap ilmu-ilmu yang sangat menentukan bagi kehidupan masyarakat. Kurikilum menurut Al-Ghazali didasarkan pada dua kecenderungan sebagai berikut:
• Kecenderungan agama dan tasawuf. Kecenderungan ini membuat Al-ghazali menempatkan ilmu-ilmu agama di atas segalanya dan memandangya sebagai alat untuk menyucikan diri dan membersihkannya dari pengaruh kehidupan dunia.
• Kecenderungan pragmatis. Kecenderungan ini tampak dalam karya tulisnya. Al-ghazali beberapa kali mengulangi penilaian terhadap ilmu berdasarkan manfaatnyabagi manusia, baik kehidupan di dunia, maupun untuk kehidupan akhirat, ia menjelaskan bahwa ilmu yang tidak bermanfaat bagi manusia merupakan ilmu tang tak bernilai. Bagi al-Ghazali, setiap ilmu harus dilihat dari fungsi dan kegunaannya dalam bentuk amaliyah.
3. Metode Pengajaran
Perhatian Al-Ghazali akan pendidikan agama dan moral sejalan dengan kecenderungan pendidikannya secara umum, yaitu prinsip-prinsip yang berkaitan secara khusus dengan sifat yang harus dimilikioleh seorang guru dalam melaksanakan tugasnya.
Tentang pentingnya keteladanan utama dari seorang guru, juga dikaitkan dengan pandangannya tentang pekerjaan mengajar. Menurutnya mengajar adalah pekerjaan yang paling mulia sekaligus yang paling agung .pendapatnya ini, ia kuatkan dengan beberapa ayat Al-quran dan hadits Nabi yang mengatakan status guru sejajar dengan tugas kenabian. Lebih lanjut Al-Ghazali mengatakan bahwa wujud termulia di muka bumi adalah manusia, dan bagian inti manusia yang termulia adalah hatinya. Guru bertugas menyempurnakan, menghias, dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Bahkan, kaum muslimin pada zaman dahulu amat mementingkan menuntut ilmu yang langsung diterima dari mulut seorang guru. Mereka tidak suka menuntut ilmu dati buku-buku dan kitab-kitab saja, sebagian mereka berkata “ Diantara malapetaka yang besar yaitu berguru pada buku, maksudnya belajar dengan membaca buku tanpa guru”, dalam sebuah kitab dikatakan “Barang siapa yang tiada berguru, maka syetanlah imammya”.
Dalam masalah pendidikan, Al-Ghazali lebih cenderung berfaham empirisme, oleh karena itu, beliau sangat menekankan pengaruh pendidikan terhadap anak didik. Anak adalah amanat yang dipercayakan kepada orang tuanya, hatinya bersih, murni, laksana permata yang berharga, sederhana, dan bersih dari ukiran apapun. Ia dapat menerima tiap ukiran yang digoreskan kepadanya dan akan denderung ke arah yang kita kehendaki. Oleh karna itu, bila ia dibiasakan dengan sifat-sifat yang baik, maka akan berkembanglah sifat-sifat yang baik pula. Sesuai dengan hadits Rasulullah SAW :
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan bersih, kedua orang tuanyalah yang menyebabkan anak itu menjadi penganut Yahudi, Nasrani, dan Majusi.”( HR. Muslim)
4. Kriteria Guru Yang Baik
Menurut Al-Ghazali, bahwa guru yang dapat diserahi tugas mengajar adalah selain guru yang cerdas dan sempurna akalnya, juga guru yang baik akhlaknya dan kuat fisiknya. Dengan kesempurnaanakal ia dapat memiliki berbagai ilmu pengetahuan secara mendalam, dan dengan akhlaknya guru dapat menjadi contoh dan teladan bagi para muridnya, dan dengan kuat fisiknya guru dapat melaksanakan tugasnya mengajar, mendidik dan mengarahkan anak-anak muridnya.
Selain sifat-sifat umum di atas, seorang guru juga memiliki sifat-sifat khusus sebagai berikut:
• Mencintai murid seperti mencintai anaknya sendiri.
• Jangan mengharapkan materi sebagai tujuan utama karena mengajar adalah tugas yang diwariskan Rasulullah SAW.
• Mengingatkan murid bahwa tujuan menuntut ilmu adalah mendekatkan diri kepada Allah SWT.
• Guru harus mendorong muridnyauntuk mencari ilmu yang bermanfaat.
• Guru harus memberikan tauladan yang baik di mata muridnya sehingga murid senang mencontoh tingkah lakunya.
• Guru harus mengajarkan pelajaran sesuaitingkat kemampuan akal anak didik.
• Guru harus mengamalkan ilmunya.
• Guru harus bias mengetahui jiwa anak didiknya.
• Guru dapat mendidik keimanan ke dalampribadi anak didiknya.
5. Sifat Murid Yang Baik
Sejalan dengan tujuan pendidikan sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT, maka belajar termasuk ibadah. Dengandasar pemikiran ini, maka seorang murid yang baik memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
• Seorang murid harus memulyakan guru dan bersikap rendah hati
• Harus saling menyayangi dan tolong-menolong sesama teman
• Mempelajari bermacam-macam ilmu dari tiap-tiap ilmu tersebut
• Seorang murid harus berjiwa bersih, terhindar dari perbuatan hina dan tercela
• Seorang murid hendaknya mendahulukan mempelajari yang wajib
• Seorang murid hendaknya mempelajari ilmu secara bertahap
• Seorang murid hendaknya mengetahui nilai setiap ilmu yang dipelajarinya.
6. Ganjaran dan Hukuman
Selanjutnya Al-Ghazali berkata:Apabila anak-anak itu berkelakuan baik dan melakukan pekerjaan yang bagus, hormatilah ia dan hendaknya diberi penghargaan dengan sesuatu yang menggembirakannya, serta dipuji di hadapan orang banyak. Jika ia melakukan kesalahan satu kali, hendaknya pendidikmembiarkan dan jangan dibuka rahasianya. Jika anak itu mengulanginya lagi, hendaknya pendidik memarahinya dengan tersembunyi, bukan dinasehati di depan orang banyak, dan janganlah pendidik seringkali memarahi anak-anak itu, karena hal itu dapat menghilangkan pengaruh pada diri anak, sebab sudah terbiasa telinganya mendengarkan amarah itu.
Metode pemberian hadiah dan hukuman untuk tujuan mendidik dipandang sebagai metode yang aman. Terlalu banyak melarang dapat menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan. Demikian pula terlalu banyak memberikan pujian tidak menjadi penyebab terjadinya perbaikan. Dalam berbagai kesempatan Al-Gazali menerangkan bahwa membesarkan anak dengan kemanjaan, bersenang-senang dan bermalas-malasan serta meremehkan pergaulan bersama orang lain termasuk perkara yang tidak baik karena membesarkan anak dengan cara seperti ini akan merusak akhlaknya .
C. KARYA-KARYA AL-GHAZALI
 Di Bidang filsafat
- Maqasid al-Falasifah
- Tafahut al-Falasifah
- Al-Ma’rif al-‘aqliyah
 Di Bidang Agama
- Ihya ‘Ulumuddin
- Al-Munqiz minal dhalal
- Minhaj al-Abidin
 Di Bidang Akhlak Tasawuf
- Mizan al-Amal
- Kitab al-Arbain
- Mishkatul anwar
- Al-Adab fi Dien
- Ar-Risalah al-laduniyah
 Di Bidang Kenegaraan
- Mustaz hiri
- sirr al-Alamin
- Nasihat al-Muluk
- Suluk al-Sulthanah
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-ghazali dilahirkan di Thus, sebuah Kota di khurasan, Persia, pada tahun 450 H atau 1058 M. ayahnya seorang pemintal wool. Al-ghazali mempunyai seprang saudara, ketika akan meninggal, ayahnya berpesan kepada sahabat setianya agar keduanya putranya diasuh dan disempurnakan pendidikan keduanya
Untuk mengetahui konsep pendidikan Al-Ghazali, dapat diketahui dengan cara memahami pemikirannya yang berkenaan dengan berbagai aspek yang berkaitan dengan pendidikan, yaitu: tujuan, kurikulum, metode, etika guru, dan etika murid.
1.Tujuan Pendidikan
Seorang guru baru dapat merumuskan suatu tujuan kegiatan, jika ia memahami benar filsafat yang mendasarinya. Rumusan selanjutnya akan menentukan aspek kurikulum, metode, guru dan lainnya.
2.Kurikulum Pendidikan
Al-Ghazali membagi ilmu pengetahuan menjadi tiga bagian, yaitu
 Ilmu yang tercela,
 Ilmu yang terpuji
 Ilmu yang terpuji pada taraf tertentu
3. Metode Pengajaran
Dalam masalah pendidikan, Al-Ghazali lebih cenderung berfaham empirisme, oleh karena itu, beliau sangat menekankan pengaruh pendidikan terhadap anak didik. Anak adalah amanat yang dipercayakan kepada orang tuanya, hatinya bersih, murni, laksana permata yang berharga, sederhana, dan bersih dari ukiran apapun.
4. Kriteria Guru Yang Baik
Menurut Al-Ghazali, bahwa guru yang dapat diserahi tugas mengajar adalah selain guru yang cerdas dan sempurna akalnya, juga guru yang baik akhlaknya dan kuat fisiknya.
5. Sifat Murid Yang Baik
Seorang murid harus memulyakan guru dan bersikap rendah hati. Harus saling menyayangi dan tolong-menolong sesama teman. Mempelajari bermacam-macam ilmu dari tiap-tiap ilmu tersebut. Seorang murid harus berjiwa bersih, terhindar dari perbuatan hina dan tercela, dll.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls