Kamis, 27 Oktober 2011

TINJAUAN KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM, PENDIDIK, PESERTA DIDIK, DAN LINGKUNGAN DALAM PANDANGAN FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

Makalah ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Kelompok:
Mata Kuliah Filsafat Pendidikan Islam
Dosen Pengampu: Prof. Dr. Sutrisno, M. Ag.







KELAS : PAI-B
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2011
PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan kata kunci bagi setiap manusia untuk mendapatkan ilmu. Hanya dengan pendidikanlah ilmu akan didapat dan diserap dengan baik. Pendidikan juga merupakan suatu metode atau pendekatan yang sesuai dengan fitrah manusia yang memiliki fase tahapan dalam pertumbuhan dan perkembangannya untuk menjadi manusia paripurna.
Dalam kaca mata Islam, pendidikan merupakan suatu unsur yang terpenting untuk menempatkan manusia diposisi yang paling mulia dihadapan Allah. Karena hanya orang yang berilmulah yang akan mendapatkan suatu kebahagiaan diakhirat.
Pendidikan islam merupakan suatu upaya yang terstruktur untuk membentuk manusia paripurna (insan kamil) melalui suatu institusi pendidikan yang kondusif untuk menyiapkan dan menciptakan bentuk masyarakat yang ideal untuk masa depan. Sejalan dengan konsep tersebut, maka pendidikan Islam harus memiliki seperangkat isi atau bahan yang akan ditransformasikan kepada peserta didik supaya memiliki kepribadian yang sesuai dengan ajaran Islam. Untuk itu perlu dirancang suatu bentuk kurikulum pendidikan Islam yang sepenuhnya mengacu pada nilai-nilai ajaran Islam.

Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah yang diambil dalam makalah ini antara lain sebagai berikut:
1. Bagaimana tinjauan kurikulum pendidikan dalam filsafat pendidikan Islam?
2. Bagaimana tinjauan filosofis pendidik dalam filsafat pendidikan Islam?
3. Bagaimana tinjauan filosofis anak didik dalam filsafat pendidikan Islam?
4. Bagaimana tinjauan lingkungan pendidikan dalam filsafat pendidikan Islam?




PEMBAHASAN

A. Kurikulum Pendidikan Islam
1. Pengertian Kurikulum
Menurut bahasa, kurikulum berasal dari bahasa Latin curriculum yang berarti bahan pengajaran. Ada pula yang mengatakan bahwa kata tersebut berasal dari bahasa Perancis courier yang berarti berlari. Selanjutnya kata kurikulum berkembang menjadi suatu istilah yang digunakan untuk menunjukkan pada sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh untuk mencapai suatu gelar atau ijazah, serta ada beberapa pendapat lain tentang kurikulum, yang akhirnya disimpulkan bahwa kurikulum pada hakekatnya merupakan rancangan mata pelajaran bagi suatu kegiatan jenjang pendidikan tertentu, dan dengan menguasainya seseorang dapat dinyatakan lulus dan berhak memperoleh ijazah. Akan tetapi, seiring perkembangan zaman, definisi dari kurikulum pun mengalami perkembangan pemaknaan, seperti yang diungkapkan oleh S. Nasution yang menyebutkan bahwa kurikulum bukan hanya sekedar memuat mata pelajaran, akan tetapi termasuk pula di dalamnya segala usaha sekolah untuk mencapai tujuan yang diinginkan, baik usaha tersebut dilakukan di lingkungan sekolah maupun di luar sekolah.
Pendapat S. Nasution tersebut sejalan dengan pemikiran Hasan Langgulung yang berpendapat bahwa kurikulum merupakan sejumlah pengalaman pendidikan, kebudayaan, sosial, olah raga, dan kesenian, baik yang berada di dalam maupun di luar kelas yang dikelola oleh sekolah.
2. Cakupan Kurikulum
Dengan semakin berkembangnya pengertian dari kurikulum, maka cakupan bahan pengajaran yang terdapat di dalam kurikulum juga semakin luas. Adapun cakupan dari kurikulum meliputi empat bagian, yaitu, pertama, bagian yang berkenaan dengan tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh proses belajar-mengajar, kedua, bagian yang berisi pengetahuan, informasi-informasi, data, aktivitas-aktivitas, dan pengalaman-pengalaman yang merupakan bahan bagi penyusunan kurikulum yang isinya berupa mata pelajaran yang kemudian dimasukkan dalam silabus. ketiga, bahan yang berisi metode atau cara menyampaikan mata pelajaran, dan yang keempat, bagian yang berisi metode atau cara melakukan penilaian dan pengukuran atas hasil pengajaran dan pelajaran tertentu.
3. Asas-asas Kurikulum
Asas-asas kurikulum merupakan bagian yang perlu diperhatikan dengan cermat dalam menyusun kurikulum. Menurut S. Nasution, ada beberapa asas dalam penyusunan kurikulum. Empat asas tersebut antara lain adalah asas filosofis, sosiologis, organisatoris, dan psikologis. Asas filosofis berperan sebagai penentu tujuan umum pendidikan. Asas sosiologis berperan memberikan dasar untuk menentukan apa saja yang akan dipelajari sesuai dengan kebutuhan masyarakat, kebudayaan, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan asas organisatoris berfungsi memberikan dasar-dasar dalam bentuk bagaimana bahan pelajaran disusun, dan bagaimana penentuan luas dan urutan mata pelajaran. Kemudian asas psikologis berperan memberikan berbagai prinsip-prinsip tentang perkembangan anak didik dalam berbagai aspeknya, serta cara menyampaikan bahan pelajaran agar dapat dicerna dan dikuasai oleh anak didik sesuai dengan tahap perkembangannya.
Selanjutnya dilihat dari segi peran dan orientasinya, kurikulum dapat dibagi menjadi empat macam, yaitu kurikulum yang bercorak humanistik, rekonstruksi sosial, teknologis, dan akademis. Kelompok yang berorientasi pada humanistik berpendapat bahwa kurikulum seharusnya memberikan pengalaman kepada setiap pribadi secara memuaskan, dan memandang kurikulum sebagai proses yang memberikan kebutuhan bagi pertumbuhan dan integritas pribadi seseorang secara bebas dan bertanggungjawab. Kelompok yang berorientasi pada rekonstruksi sosial melihat kurikulum sebagai alat untuk mempengaruhi perubahan sosial dan menciptakan masa depan yang lebih baik bagi masyarakat. Kemudian bagi yang berorientasi pada teknologis memandang kurikulum sebagai teknologi untuk mewujudkan tujuan yang dikehendaki oleh pembuat kebijaksanaan. Sedangkan bagi yang berorientasi pada akademik melihat kurikulum sebagai upaya peningkatan intelektual dengan cara memperkenalkan siswa pada berbagai macam pelajaran yang terorganisir dengan baik.

4. Kurikulum dalam Pendidikan Islam
Menurut Omar Muhammad al-Taoumy al-Syainaby, kurikulum dalam Pendidikan Islam memiliki lima ciri, yaitu antara lain sebagai berikut:
a. Menonjolkan tujuan agama dan akhlak pada berbagai tujuan dan kandungan, metode, alat, dan tekniknya bercorak agama.
b. Meluas cakupannya dan menyeluruh kandungannya.
c. Seimbangan di antara berbagai ilmu yang dikandung dalam kurikulum yang digunakan.
d. Menyeluruh dalam menata seluruh mata pelajaran yang diperlukan anak didik.
e. Kurikulum yang disusun selalu disesuaikan dengan bakat dan minat anak didik.
5. Prinsip Kurikulum Pendidikan Islam
Selain memiliki lima ciri, kurikulum dalam Pendidikan Islam juga memiliki beberapa prinsip, antara lain sebagai berikut:
a. Prinsip pertautan yang sempurna dengan agama, termasuk ajaran dan nilai-nilainya.
b. Prinsip menyeluruh (universal) pada tujuan-tujuan dan kandungan kurikulum.
c. Prinsip keseimbangan yang relatif antara tujuan-tujuan dan kandungan kurikulum.
d. Prinsip perkaitan antara bakat, minat, kemampuan, dan kebutuhan pelajar.
e. Prinsip pemeliharaan perbedaan-perbedaan individual anak didik, baik dalam bakat maupun minatnya.
f. Prinsip menerima perkembangan dan perubahan sesuai dengan perkembangan zaman dan tempat.
g. Prinsip keterkaitan antara berbagai mata pelajaran dengan pengalaman-pengalaman dan aktivitas yang terkandung dalam kurikulum.
Selain ketujuh prinsip di atas, kurikulum dalam Pendidikan Islam juga memiliki landasan yang meliputi dasar agama, filsafat, psikologis, dan dasar sosial.
B. Hakekat Pendidik
1. Pengertian Pendidik
Pendidik adalah orang yang mendidik. Pengertian ini memberi kesan bahwa pendidik adalah orang yang bertugas di lembaga pendidikan yaitu untuk mendidik anak didik, atau orang yang berfungsi untuk mendidik. Dalam pendidikan formal baik dari tingkat dasar sampai menengah pendidik disebut guru, sedangkan di perguruan tinggi disebut dengan dosen dan/atau guru besar. Dalam bahasa Arab, juga ditemukan beberapa istilah yang memiliki makna pendidik, yaitu ustadz, mudarris, mu’allim, dan mu’addib.
Perbedaan tersebut juga berangkat dari penggunaan istilah pendidikan yang digunakan. Bagi orang yang berpendapat bahwa istilah yang tepat untuk menggunakan pendidikan adalah tarbiyah, maka seorang pendidik disebut murabbi, jika ta’līm yang dianggap lebih tepat, maka pendidiknya disebut mu’allim, dan jika ta’dīb yang dianggap lebih cocok untuk makna pendidikan, maka pendidik disebut dengan mu’addib.
Dari banyak istilah tentang pendidik di atas, kata pendidik yang beraneka macam ini tidak akan mempengaruhi makna pendidik yang sebenarnya, yaitu pendidik tidak hanya sebagai orang yang menyampaikan materi kepada peserta didik (transfer of knowladge), tetapi juga bertugas untuk mengembangkan kemampuan peserta didik secara optimal (tranformation of knowladge) serta menanamkan nilai (internalitation of values) yang berlandaskan kepada ajaran Islam.
2. Kedudukan Pendidik
Dalam konteks Islam secara eksplisit tidak ditemukan ayat-ayat yang berbicara tentang pendidik, tetapi ketika kita telusuri secara implisit dalam al-Qur’an disebutkan mengenai ilmu dan kedudukan orang yang berilmu. Ketika kita membicarakan mengenai orang berilmu tentunya memiliki hubungan erat dengan pendidik, dimana pendidik adalah orang yang memiliki dan mengajarkan ilmu. Dalam al-Qur’an ditemukan ayat-ayat yang menunjukkan bahwa Allah memposisikan pendidik pada tempat terhormat. Seperti firman-Nya:





Artinya: Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S. al-Mujadilah: 11)
Selain dari ayat di atas, juga terdapat firman Allah dalam surat az-Zumar tentang posisi seorang pendidik dengan ilmu yang dimilikinya. Firman-Nya:





Artinya: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. (Q.S. az-Zumar: 9).
Berdasarkan analisa di atas, tampak bahwa apa yang disebutkan dalam al-Qur’an mengenai kedudukan pendidik yang demikian tinggi itu. Menurut al-Ghazali seorang sarjana yang bekerja mengamalkan ilmunya adalah lebih baik daripada seorang yang hanya beribadat saja. Sejalan dengan pendapat al-Ghazali, Athiyah al-Abrasy mengatakan, seseorang yang berilmu dan kemudian ia mengamalkan ilmunya itu, maka orang itulah yang dinamakan orang yang berjasa besar di dunia ini. Orang tersebut bagaikan matahari yang menyinari orang lain dan juga menerangi dirinya sendiri, ibarat minyak kasturi yang yang baunya dinikmati orang lain dan dirinya sendiri. Sedangkan para ulama menjelaskan tentang kedudukan guru, yaitu sebagai bapak spiritual bagi seorang murid baik dalam konsep pendidikan informal dan formal. Karena semua guru pada dasarnya sama-sama menanamkan akhlak yang baik yang dapat memberikan kedamaian hidupnya, dan juga memberikan ilmu dan nilai pengetahuan untuk bekal hidupnya di dunia dan di akhirat.
3. Tugas Pendidik
Menurut Raka Joni ( Conny R. Semiawan dan Soedijarto, 1991) hakikat tugas guru pada umumnya adalah berhubungan dengan pengembangan sumber daya manusia yang pada akhirnya akan paling menentukan kelestarian dan kejayaan kehidupan bangsa. Dengan kata lain, bahwa guru mempunyai tugas membangun dasar-dasar dari corak kehidupan manusia di masa yang akan datang.
Sementara Hujjatul Islam, Imam al-Ghazali, seperti yang dikutip Samsul Nizar, bahwa tugas pendidik yang utama adalah menyempurnakan, membersihkan, mensucikan, serta membawa hati manusia untuk taqarrub ila Allah. Para pendidik hendaknya mengarahkan peserta didik untuk mengenal Allah lebih dekat melalui seluruh ciptaannya. Begitu pula an-Nahlawi berpendapat bahwa selain bertugas mengalihkan berbagai pengetahuan dan keterampilan kepada peserta didik, tugas utama yang perlu dilakukan pendidik adalah tazkiyat an-nafs yaitu mengembangkan, membersihkan, mengangkat jiwa peserta didik kepada Khaliq-Nya, menjauhkan dari kejahatan, dan menjaganya agar tetap berada pada fitrah-Nya yang hanif.
Dalam al-Qur’an juga disinggung bahwa tugas pendidik dalam konteks pendidik sebagai waratsatul an-biya’ memang bertugas sebagai sekaligus mu’allim sebagai muzakky. Hal ini sesuai dengan tugas Rasul dalam firman-Nya:





Artinya: Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan ni'mat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui. (Q.S. al-Baqarah: 151).
4. Karakteristik Pendidik yang Baik dan Ideal
a. Menurut al-Ghazali
1) Guru harus mencintai muridnya seperti mencintai anak kandungnya sendiri
2) Guru jangan mengaharapkan materi(upah) sebagai tujuan utama dari pekerjaannya (mengajar), karena mengajar adalah tugas yang diwariskan oleh Nabi Muhammad SAW. Sedangkan upahnyaterletak pada terbentuknya anak didik yang mengamalkan ilmu yang diajarkannya.
3) Guru harus mengingatkan muridnya agar tujuannya dalam menuntut ilmu bukan untuk kebanggan diri atau mencari keuntungan pribadi, tetapi untuk mendekatkan diri kepada Allah.
4) Guru harus mendorong muridnya agar mencari ilmu yang bermanfaat, yaitu ilmu yang membawa kebahagiaan dunia akhirat.
5) Dihadapan muridnya guru harus memberikan contoh yang baik, seperti berjiwa halus, sabar, lapang dada, rendah hati, sopan dan berakhlak terpuji lainnya.
6) Guru harus mengajarkan pelajaran yang sesuai dengan tingkat intelektual dan daya tangkap anak didik.
7) Guru harus mengamalkan yang diajarkannya, karena guru menjadi idola dimata murid-muridnya.
8) Guru harus memahami minat, bakat dan jiwa anak didiknya, sehingga tidak akan salah dalam mendidik, juga akan terjalin hubungan yang akrab dan baik antara guru dengan muridnya.
9) Guru harus dapat menanamkan keimanan kedalam pribadi anak didiknya, sehingga akal piker anak didiknya tersebut akan dijiwai oleh keimanan tersebut.
Jika tipe guru yang dikehendaki al Ghazali tersebut dilihat dari perspektif guru sebagai profesi, tampak diarahkan pada aspek moral dan kepribadian, sedangkan aspek keahlian dan profesionalnya nampaknya kurang diperhatikan.
b. Menurut Ikhwan al-Safa
Sejalan dengan yang mengatakan bahwa ilmu itu harus diusahakan, maka dalam usaha tersebut memerlukan guru. Nilai seorang guru menurutnya tergantung pada caranya menyampaikan ilmu pengetahuan. Untuk ini mereka mensyaratkan agar guru memiliki syarat-syarat yang sesuai dengan persyaratan pendidik.
C. Peserta Didik Menurut Filsafat Pendidikan
1. Pengertian Peserta Didik
Dilihat dari segi kedudukannya, anak didik adalah makhluk hidup yang sedang berada dalam proses perkembangan dan pertumbuhan menurut fitrahnya masing-masing yang memerlukan bimbingan dan pengarahan yang konsisten menuju ke arah titik optimal kemampuan fitrahnya. Dalam pandangan yang lebih modern, anak didik tidak hanya dianggap sebagai obyek atau sasaran pendidikan, melainkan juga harus diperlakukan sebagai subyek pendidikan. Dalam bahasa Arab dikenal tiga istilah yang sering digunakan untuk menunjukan pada anak didik kita. Tiga istilah tersebut adalah, murid yang secara harfiah berarti orang yang menginginkan atau membutuhkan sesuatu; tilmidz (jamaknya) talamidz yang berarti murid, dan thalib al-ilm yang menuntut ilmu, pelajar, atau mahasiswa. Ketiga istilah tersebut seluruhnya mengacu kepada seseorang yang tengah menempuh pendidikan. Perbedaannya hanya pada penggunaannya.
Berdasarkan pengertian di atas, maka anak didik dapat dicirikan sebagai orang yang tengah memerlukan pengetahuan atau ilmu, bimbingan, dan pengarahan. Dalam pandangan Islam, hakikat ilmu berasal dari Allah, sedangkan proses memperolehnya dilakukan melalui belajar kepada guru. Selain memerlukan bantuan guru, seorang anak didik yang sedang belajar juga memerlukan kawan tempat mereka berbagi rasa dan belajar bersama.
2. Hakikat Anak Didik
Dalam perspektif filsafat pendidikan Islam, hakikat anak didik terdiri dari beberapa macam, yaitu:
a. Anak didik adalah darah daging sendiri, orang tua adalah pendidik bagi anak-anaknya maka semua keturunannya menjadi anak didiknya di dalam keluarga.
b. Anak didik adalah semua anak yang berada di bawah bimbingan pendidik di lembaga pendidikan formal maupun nonformal, seperti sekolah, pondok pesantren, tempat pelatihan, sekolah keterampilan, tempat pengajian anak-anak TPA, majelis taklim, dan sejenis.
c. Anak didik secara khusus adalah orang-orang yang belajar di lembaga pendidikan tertentu yang menerima bimbingan, pengarahan, nasihat, pembelajaran, dan berbagai hal yang berkaitan dengan proses kependidikan.
Bagi para pendidik, anak didik adalah anaknya sendiri. Oleh karena itu, para pendidik bertangung jawab melihat perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan anak didiknya, terutama akhlaknya, serta berkewajiban menjaga nama baik lembaga pendidikan dengan mengajarkan pendidikan akhlak kepada anak didiknya, para pendidik membina anak didiknya dengan materi pengetahuan yang sesuai dengan tujuan lembaga pendidikan yang dimaksudkan.
3. Akhlak Anak Didik
Asma Hasan Fahmi menyebutkan empat akhlak yang harus dimiliki anak didik, yaitu:
a. Seorang anak didik harus membersihkan hatinya dari kotoran dan penyakit jiwa sebelum ia menuntut ilmu, karena belajar merupakan ibadah yang tidak sah dikerjakan kecuali dengan hati yang bersih.
b. Seorang anak didik harus mempunyai tujuan menuntut ilmu dalam rangka menghiasi jiwa dengan sifat keutamaan, mendekatkan diri kepada Tuhan, dan bukan untuk mencari kemegahan dan kedudukan.
c. Seorang pelajar harus tabah dalam memperoleh ilmu pengetahuan dan bersedia pergi merantau. Selanjutnya apabila ia menghendaki pergi ke tempat yang jauh untuk memperoleh seorang guru, maka ia tidak boleh ragu-ragu untuk itu.
d. Seorang anak didik wajib menghormati guru dan berusaha agar senantiasa memperoleh kerelaan guru, dengan mempergunakan bermacam-macam cara.
4. Perbedaan Anak Didik
Seorang anak adalah individu yang memiliki ciri-ciri dan bakat tertentu, yang membedakan satu anak dari anak lainnya dalam lingkungan sosial. Lingkungan sosial di sini adalah lingkungan sosial masyarakat dalam arti luas. Jenis kelamin, raut muka, bentuk tubuh anak adalah faktor pembawaan yang dibawa sejak lahir. Ciri-ciri ini dapat menjadi tolok ukur perbedan anak didik sebagai individu. Pendekatan filosofis dalam memahami karakteristik anak didik membedakan tiga perbedaan anak didik yang dihadapi. Tiga perbedaan itu yaitu sebagai berikut:
a. Perbedaan biologis
Perbedaan biologis berkaitan dengan keadaan jasmani anak didik karena tidak semua anak didik memiliki jasmani yang normal. Jika pendidik kurang memperhatikan perihal tersebut, pendidikan berjalan kurang sempurna.
b. Perbedaan intelektual
Menurut Syaiful Bahri Djamarah, intelegensi adalah satu aspek yang aktual untuk dibicarakan dalam dunia pendidikan, karena intelegensi adalah unsur yang ikut mempengaruhi keberhasilan belajar anak didik.
Intelegensi adalah kemampuan memahami dan beradaptasi dengan situasi yang baru dengan cepat dan efektif, kemampuan untuk menggunakan konsep yang abstrak secara efektif, dan kemampuan untuk memahami hubungan dan mempelajarinya dengan cepat.
c. Perbedaan psikologis
Keadaan psikologis anak didik dipengaruhi oleh lingkungan keluarga, lingkungan sosial, dan oleh lingkungan sekolahnya. Para pendidik secara langsung dapat mempengaruhi psikologis anak didik, misalnya pendidik yang terkesan galak, mudah tersinggung, dan kurang kreatif, akan menyebabkan anak didiknya kurang menyukai mata pelajaran yang disampaikan atau kurang menyukai pendidiknya secara pribadi.
5. Dimensi-Dimensi Peserta Didik
Pada hakekatnya dimensi adalah salah satu media yang dibutuhkan oleh peserta didik untuk membentuk diri, sikap, mental, sosial, budaya, dan kepribadian di masa yang akan datang (kedewasaan). Dimensi-dimensi itu antara lain sebagai berikut:
a. Dimensi fisik (jasmani)
Fisik manusia terdiri dari dua unsur, yaitu unsur biotik dan unsur abiotik. Manusia sebagai peserta didik memiliki proses penciptaan yang sama dengan makhluk lain seperti hewan. Namun yang membedakan adalah manusia lebih sempurna dari hewan, hal ini dikarenakan manusia memiliki nafsu yang dibentengi oleh akal sedangkan hewan hanya memiliki nafsu dan insthink bukannya akal.
b. Dimensi akal
Akal pada diri manusia tidak dapat berdiri sendiri, ia membutuhkan bantuan qolb (hati) agar dapat memahai sesuatu yang bersifat ghoib seperti halnya ketuhanan, mu’jizat, wahyu dan mempelajarinya lebih dalam. Akal yang seperti ini adalah potensi dasar manusia yang ada pada diri manusia sejak lahir. Potensi ini perlu mendapatkan bimbingan serta didikan agar tetap mampu berkembang kearah yang positif.
c. Dimensi keberagamaan
Manusia sejak lahir telah menerima kodrat sebagai homodivinous atau homo religius yaitu makhluk yang percaya adanya Tuhan atau makhluk yang beragama. Dalam Islam diyakini bahwa pada saat janin manusia berada dalam kandungan ibu, dan ketika ditiupkan nyawa ke dalam janin, maka janin mengatakan bahwa aku akan beriman (Allah). Dari sinilah manusia mempunyai fitrah sebagai makhluk yang memiliki kepercayaan adanya Tuhan sejak lahir.
d. Dimensi akhlak
Kata akhlak dalam pendidikan Islam adalah seuatu yang sangat diutamakan dan sangat erat kaitannya dengan pendidikan agama sehingga dikatakan bahwa akhlak tidak dapat lepas dari pendidikan agama.
e. Dimensi rohani (kejiwaan)
Dimensi rohani adalah dimensi yang sangat penting karena rohani (kejiwaan) harus dapat mengendalikan keadaan manusia untuk hidup bahagia, sehat, merasa aman dan tenteram. Penciptaan manusia tidak akan sempurna sebelum ditiupkan oleh Allah sebagian ruh baginya.
f. Dimensi seni (keindahan)
Seni merupakan salah satu potensi rohani yang terdapat pada diri manusia. Sehingga seni dalam diri manusia harus lah dikembangkan. Seni dalam diri manusia merupakan sarana untuk mencapai tujuan hidup. Namun tujuan utama seni pada diri manusia adalah untuk beribadah kepada Allah dan menjalankan fungsi kekhalifahannya serta mendapatkan kebahagiaan spiritual yang menjadi rahmat bagi sebagian alam dan keridhoan Allah SWT.
g. Dimensi sosial
Dimensi sosial bagi manusia erat kaitannya dengan sebuah golongan, kelompok, maupun lingkungan masyarakat. Lingkungan terkecil dalam dimensi sosial adalah keluarga, yang berperan sebagai sumber utama peserta didik untuk membentuk kedewasaan. Di dalam Islam dimensi sosial dimaksudkan agar manusia mengetahui bahwa tanggung jawab tidak hanya diperuntukkan pada perbuatan yang bersifat pribadi namun perbuatan yang bersifat umum.
D. Lingkungan dalam Pendidikan Islam
1. Pengertian Lingkungan Tarbiyah Islamiyah
Salah satu sistem yang memungkinkan proses kependidikan Islam berlangsung secara konsisten dan berkesinambungan dalam rangka mencapai tujuannya adalah instiuisi atau kelembagaan pendidikan Islam. Lingkungan tarbiyah Islamiyyah itu adalah suatu lingkungan yang di dalamnya terdapat ciri-ciri keislaman yang memungkinkan terselenggaranya pendidikan Islam dengan baik.
Al-Qur’an tidak mengemukakan penjelasan mengenai lingkungan pendidikan Islam tersebut, kecuali lingkungan pendidikan yang dalam praktek sejarah digunakan sebagai tempat berlangsungnya kegiatan pendidikan, yaitu rumah, masjid, sanggar kegiatan para sastrawan, madrasah dan universitas.
2. Fungsi Lingkungan Tarbiyah Islamiyah
Sebagai lingkungan tarbiyah Islamiyyah, ia mempunyai fungsi antara lain menunjang terjadinya proses kegiatan belajar mengajar secara aman, tertib, berkelanjutan.
Pada perkembangan selanjutnya institusi lembaga pendidikan ini disederhanakan menjadi lingkungan sekolah pendidikan dan pendidikan luar sekolah.
a. Satuan Pendidikan Luar Sekolah
Di antara satuan pendidikan di luar sekolah adalah keluarga yang berlangsung di rumah. Secara literal keluarga merupakan unit sosial terkecil yang terdiri dari orang yang berada dalam seisi rumah yang sekurang-kurangnya terdiri dari suami istri. Sedangkan dalam arti normatif, keluarga adalah kumpulan beberapa orang yang karena terikat oleh suatu ikatan perkawinan, lalu mengerti dan merasa berdiri sebagai suatu gabungan yang khas dan bersama-sama memperteguh gabungan itu untuk kebahagiaan, kesejahteraan, dan ketentraman semua anggota yang ada di dalam keluarga tersebut.
Terciptanya keluarga dalam pandangan Al-Qur’an dianggap sebagai sesuatu yang suci dan tidak sepantasnya dijadikan sarana untuk bermain-main atau pemuas hawa nafsu biologis seksual semata, melainkan digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan mulia, seperti saling membina kasih sayang, tolong-menolong, mendidik anak, berkreasi, berinovasi. Dengan demikian keluarga amat berfungsi dalam mendukung terciptanya kehidupan yang beradab. Keluarga diharapkan dapat memainkan peranannya dalam membina masa depan anak-anaknya secara berkualitas dan berdaya guna. Harta benda dan anak-anaknya yang tumbuh dalam keluarga dipandang sebagai fitrah atau ujian dari Tuhan yang harus dipertanggung jawabkan di hadapan Tuhan.
Begitu pentingnya peranan yang harus dimainkan oleh keluarga dalam mendidik, maka dalam berbagai sumber bacaan mengenai kependidikan, keluarga selalu disinggung dan diberi peran yang penting. Ki Hajar Dewantara, misalnya mengatakan bahwa alam keluarga itu buat tiap-tiap orang adalah alam pendidikan yang permulaan. Pendidikan disitu pertama kalinya bersifat pendidikan dari orang tua yang berkedudukan sebagai guru (penuntun), sebagai pengajar dan sebagai pemimpin pekerjaan (pemberi contoh). Dalam Islam, pendidikan luar sekolah selain pendidikan dalam keluarga juga pendidikan di masjid-masjid, seperti adanya pengajian dan TPA.
b. Lingkungan Pendidikan Sekolah
Sekolah sebagai tempat belajar sudah tidak dipersoalkan lagi keberadaanya. Secara historis keberadaan sekolah merupakan perkembangan dari keberadaan masjid, karena adanya di antara mata pelajaran yang untuk mempelajarinya diperlukan soal jawab, perdebatan dan pertukaran pikiran.
c. Lingkungan Masyarakat
Manusia membutuhkan masyarakat di dalam pertumbuhan dan perkembangan kemajuannya yang dapat meninggikan kualitas hidupnya. Kebutuhan manusia yang diperlukan dari masyarakat tidak hanya yang menyangkut bidang material melainkan juga bidang spiritual, termasuk ilmu pengetahuan, pengalaman, keterampilan, dan sebagainya. Dalam memenuhi kebutuhan pendidikan manusia memerlukan lingkungan sosial masyarakat.















KESIMPULAN

Dari pembahasan yang telah dipaparkan di muka, maka dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa kurikulum pendidikan, pendidik, anak didik, dan lingkungan mempunyai peranan yang sangat penting dalam proses pendidikan Islam. Semua komponen tersebut saling berkesinambungan, saling memenuhi antara fungsi yang satu dengan fungsi yang lainnya. Keoptimalan proses pendidikan Islam ditentukan oleh bagaimana pendidikan dapat mengoptimalkan peran kurikulum, pendidik, anak didik, maupun lingkungan dalam proses kegiatan pendidikan dan anatara kesemuanya tidak dapat dipisahkan perannya untuk dapat mewujudkan tujuan dari pendidikan secara menyeluruh, yaitu memanusiakan manusia.















DAFTAR PUSTAKA
Basri, Hasan. 2009. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Jalaluddin & Said, Usman. 1999. Filsafat Pendidikan Islam: Konsep dan Perkembanagn Pemikirannya. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Nata, Abuddin. 1997. Filsafat Pendidikan Islam 1. Ciputat: Logos Wacana Ilmu.
Poerwadarminta, W. J. S. 1991. Kamus Umum Bahasa Indosesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Siswoyo, Dwi, dkk. 2007. Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press.

0 komentar:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls